REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan pengangkatan dua anggota eks Tim Mawar sebagai pejabat di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tidak bermasalah secara normatif dan administratif. Namun, presiden dianggap abai terhadap catatan sejarah penghilangan paksa sejumlah aktivis pada akhir masa Orde Baru.
"Ini mestinya menjadi pertimbangan serius, namun ternyata presiden dan Tim Penilai Akhir (TPA) kan memilih mengabaikan catatan itu," jelas pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, melalui pesan singkat, Ahad (27/9).
Catatan tentang Tim Mawar dan penghilangan paksa sejumlah aktivis sangat lekat dengan masa akhir Orde Baru, kejatuhan Soeharto, dan lahirnya masa reformasi. Secara politik, pengangkatan dua pati eks Tim Mawar itu ia nilai jelas kurang mempertimbangkan psikologi masyarakat karena bagaimanapun mereka terkait dengan masa lalu yang kelam.
"Bahkan apa yang terjadi di masa lalu itu sampai hari ini masih menjadi catatan serius. Kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis masih belum tuntas dan tercatat sebagai pelanggaran HAM berat. Dan hal itu tidak menjadi pertimbangan sama sekali," ujarnya.
Bagi Fahmi, keputusan itu mencerminkan rekomendasi Prabowo memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan sosok mana yang dapat menjabat di Kemenhan. Itu tercermin dari langkah berani TPA dan presiden mengabaikan trauma psikologis publik dalam kaitannya dengan Tim Mawar.
Menurut dia, penudingan pengangkatan tersebut sebagai bentuk nepotisme semata juga tak dapat dilakukan secara serta merta. Fahmi memaklumi jika Prabowo selaku Menteri Pertahanan kemudian menunjuk tim untuk membantunya di Kemenhan dari orang-orang yang memang sudah dekat.
Pengalaman dan kecocokan dalam bekerja sama sebagai atasan-bawahan maupun senior-junior di masa lalu, ia nilai menjadi pertimbangan yang sangat wajar dan masuk akal. Prabowo, kata Fahmi, tentu bisa menilai kapasitas, loyalitas, dan kinerja mereka.
"Apalagi tak ada ketentuan terkait jabatan itu yang dilanggar. Persoalan menjadi lebih serius karena menyangkut kata kunci Tim Mawar itu," katanya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai penunjukan dua eks anggota Tim Mawar itu juga sebagai sinyal yang mengkhawatirkan. Langkah itu dianggap seperti melakukan penghinaan terhadap hak asasi manusia (HAM).
"Ini bukan sekadar pragmatisme politik kekuasaan, tetapi juga penghinaan terhadap HAM yang ditetapkan pada era Reformasi," ujar kepada Republika.co.id, Jumat (25/9).
Usman mengatakan, alih-alih menempatkan mereka yang diduga bertanggung jawab pidana ke pengadilan, pemerintah semakin membuka pintu bagi orang-orang yang terimplikasi pelanggran HAM masa lalu dalam posisi kekuasaan. Menurutnya, mereka yang terlibat pelanggaran HAM semestinya tidak diberikan posisi komando di militer maupun jabatan strategis dan struktural di pemerintahan.
"Perkembangan ini mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa para pemimpin Indonesia telah melupakan hari-hari tergelap dan pelanggaran terburuk yang dilakukan di era Soeharto," jelas Usman.
Usman mengatakan, dengan menempatkan eks Tim Mawar di jabatan strategis dan strukural di pemerintahan itu, maka Presiden Joko Widodo dan DPR RI akan semakin dinilai melanggar janjinya. Janji untuk mengusut kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa serta pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia.
"Sekarang orang tersebut (presiden) melanjutkannya dengan mengangkat orang-orang yang terimplikasi hukum atas kasus penculikan yang pernah diadili di Mahkamah Militer," kata dia.
Untuk itu, Amnesty International Indonesia menyerukan kepada pemerintah untuk memastikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu diselidiki secara menyeluruh. Pemerintah juga harus memastikan kasus-kasus tersebut diselesaikan sepenuhnya sesuai keadilan hukum dan korban hilang dijelaskan nasib dan keberadaannya serta diberikan ganti rugi yang efektif.
Berdasarkan dakwaan dalam persidangan Tim Mawar pada 1998 di Pengadilan Militer Jakarta, tim tersebut dibentuk oleh Mayor Bambang Kristiono pada Juli 1997. Di Tim Mawar, Bambang membawahi 10 orang anggota, yakni Kapten Inf FS Multhazar, Kapten Inf Nugroho Sulistiobudi, Kapten Inf Untung Budiarto, Kapten Inf Joko Budi Utomo, Kapten Inf Fauka Nurfarid, Kapten Inf Yulius Selvanus, dan Kapten Inf Dadang Hindrayuda.
Dari 10 nama tersebut, dua nama terakhir muncul saat mutasi enam perwira tinggi (pati) atau pejabat eselon I di Kemenhan terjadi. Hal itu setelah Keputusan Presiden RI Nomor 166/TPA Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dari dan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kemenhan ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (23/9).
Mereka semua nantinya bertugas membantu Menteri Pertahanan (Menhan), Letjen (Purn) Prabowo Subianto. dalam menjalankan tugas membangun kekuatan pertahanan RI. Berdasarkan salinan yang didapat Republika pada Jumat (25/9), terdapat enam jabatan strategis di lingkungan Kemenhan yang diganti.
Dadang Hendrayuda kini berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) dan menjabat Kepala Biro Umum Sekretariat Utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Berdasarkan Kepres itu, Dadang dipromosikan menjadi Dirjen Potensi Pertahanan (Pothan) Kemenhan menggantikan Prof Bondan Tiara Sofyan.
Seorang lagi, yakni Yulius, kini juga berpangkat Brigjen dan menjabat sebagai Komandan Korem (Danrem) 181/Praja Vira Tama. Dia dipromosikan menjabat Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan (Bainstrahan) yang kini diemban Mayjen (Marinir) Joko Supriyanto.