REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Arif Satrio Nugroho
Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) hari ini telah menjatuhkan vonis terhadap Ketua KPK Firli Bahuri dalam perkara pelanggaran kode etik. Dewas KPK memutuskan untuk memberikan sanksi berupa teguran tertulis dua agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya.
"Agar terperiksa sebagai ketua KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam kode etik dan pedoman perilaku KPK," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean saat membacakan putusan, Kamis (24/5).
Dalam sidang tersebut, Tumpak mengatakan, bahwa Firli dinyatakan bersalah telah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. Dewas menilai, Firli tidak mengindahkan kewajiban dan menyadari sepenuhnya bahwa seluruh sikap serta tindakan selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai insan komisi.
Tumpak mengatakan, Firli seharusnya menunjukkan keteladanan dalam tindakan dan perilaku sehari-hari yang diatur dalam Pasal 4 ayat 1 huruf n dan Pasal 8 ayat 1 huruf F Perdewas Nomor 2 tahun 2020 Tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Dalam putusannya, Dewas menyebut bahwa hal yang memberatkan Firli adalah tidak menyadari pelanggaran yang telah dilakukan. Tumpak mengatakan, Firli sebagai ketua KPK yang seharusnya menjadi teladan namun malah berlaku sebaliknya.
"Hal meringankan terperiksa belum pernah dihukum akibat kode etik dan pedoman perilaku dan Terperiksa kooperatif dalam persidangan," kata Tumpak lagi.
Dewas KPK tetap menilai, Firli telah menimbulkan tanggapan negatif dari berbagai kalangan masyarakat melalui pemberitaan di media massa. Anggota Dewas KPK Albertina Ho mengatakan, hal tersebut berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap Firli dalam kedudukannya sebagai Ketua KPK.
"Dan setidak-tidaknya berpengaruh terhadap pimpinan KPK secara keseluruhan," kata Albertina saat membacakan putusan sidang, Kamis (24/9).
Albertina mengatakan, sanksi diberikan dengan melihat dampak dan akibatnya kepada KPK. Dia mengatakan, hukuman ringan diberikan kalau dampaknya hanya di lingkungannya saja. Lanjutnya, kalau perbuatan tersebut berdampak ke institusi atau lembaga itu akan diberikan hukuman sedang.
"Kemudian kalau dampaknya itu kepada pemerintah atau negara itu tentu saja akan dijatuhkan berat," katanya.
Albertina mengatakan, Firli harus lebih berhati-hati dalam berperilaku ke depan. Dia melanjutkan, hukuman dengan tingkatan serupa tidak akan bisa diberikan untuk kali kedua bila yang bersangkutan kembali melanggar kode etik.
"Maka ke depan tidak bisa lagi jika melanggar dijatuhi hukuman yang sama tapi harus yang lebih berat lagi, harus di atasnya," katanya.
Firli Bahuri menerima putusan yang dijatuhkan Dewas KPK. Dia mengaku tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut.
"Kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mungkin tidak nyaman dan saya tentu putusan saya terima dan saya pastikan saya tidak akan pernah mengulangi itu, terima kasih," kata Firli singkat.
Seperti diketahui, Firli Bahuri diadukan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman terkait dengan penggunaan helikopter mewah saat perjalanan dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan pada 20 Juni 2020. Perjalanan dari Palembang menuju Baturaja tersebut menggunakan sarana helikopter milik perusahaan swasta dengan kode PK-JTO.
Firli diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku "Integritas" pada Pasal 4 ayat (1) huruf c atau Pasal 4 ayat (1) huruf n atau Pasal 4 ayat (2) huruf m dan/atau "Kepemimpinan" pada Pasal 8 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor: 02 Tahun 2020.
Firli pun sudah dikonfrontir dengan pelapornya Boyamin di hadapan tiga orang pimpinan sidang etik yaitu tiga orang Dewan Pengawas KPK: Tumpak Hatorangan Panggabean (Ketua), Syamsuddin Haris dan Albertina Ho masing-masing sebagai anggota.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, putusan Dewas KPK menjadi tamparan bagi lembaga antirasuah tersebut. KPK diminta untuk bekerja lebih serius dengan maksimal dengan tanpa kontroversi.
"Saya berharap putusan ini memacu KPK untuk lebih serius lagi bekerja dalam bentuk pemberantasan dan nggak perlu tabu akan OTT (operasi tangkap tangan)," kata Boyamin, Kamis (24/9).
Boyamin berpendapat bahwa tabunya OTT di era kepemimpinan Firli Bahuri membuat penegak hukum kebobolan terkait kasus Djoko Tjandra. Dia mengatakan, semestinya KPK bisa melakukan OTT terhadap kasus tersebut karena terjadi suap menyuap.
"Tapi karena kontroversi UU KPK dan Firli maka jadi seperti tabu OTT, ketika ada perkara besar malah lolos dan sekarang malah jadi penonton," katanya.
Boyamin mengatakan, Dewas KPK seharusnya bisa mendalami kasus yang dilaporkannya, karena ada dugaan konflik kepentingan. Lanjutnya, ada dugaan gratifikasi melalui potongan harga dari yang memberi sewa lantaran tengah menjadi pasien KPK.
Sayangnya, Boyamin melanjutkan, Dewas KPK lebih menitikberatkan ke bergaya hidup mewah Firli Bahuri. Meski demikian, dia berpendapat masih ada peluang jika perkara tersebut ingin di dalami lebih lanjut.
"Potensi ditindaklanjuti masih ada dan kami cukup menghormati apapun keputusan dewas KPK," katanya.
Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry meminta pelanggaran kode etik Firli Bahuri agar menjadi pelajaran bagi lembaga antirasuah tersebut.
“Keputusan ini harus menjadi pelajaran bagi pimpinan dan seluruh pegawai KPK untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan setiap kerja-kerja di KPK,” kata Herman, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (24/9).
Politikus PDI Perjuangan itu mengingatkan, setiap kerja institusi pemberantasan korupsi itu harus dilakukan secara profesional dan harus dalam koridor kode etik. Herman mengapresiasi kinerja Dewas KPK dalam mengambil putusan dengan profesional. Menurutnya, putusan itu menjawab keraguan publik terhadap kinerja Dewas KPK.
“Selain itu, rangkaian putusan Dewas KPK selama dua hari terakhir ini juga tentu menjawab keraguan publik selama ini yg menganggap Dewas akan menghambat kerja-kerja KPK,” kata Herman.