Jumat 04 Sep 2020 09:30 WIB

Happy Hipoxia dan Kaitannya dengan Penggunaan Masker

Alpanya sesak napas pada pasien Covid-19 yang happy hypoxia justru berbahaya.

Warga menggunakan masker berswafoto. Pengenaan masker adalah senjata utama di tengah pandemi. Penggunaan masker disebut pakar tidak akan menyebabkan kondisi happy hipoxia.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga menggunakan masker berswafoto. Pengenaan masker adalah senjata utama di tengah pandemi. Penggunaan masker disebut pakar tidak akan menyebabkan kondisi happy hipoxia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Adysha Citra Ramadani, Muhammad Nursyamsi, Antara

Penggunaan masker merupakan kewajiban di tengah pandemi Covid-19. Apalagi, penambahan kasus Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan penurunan, justru sebaliknya terus bertambah.

Baca Juga

Gejala happy hipoxia atau penurunan kadar oksigen yang tidak disadari, tapi membuat pertanyaan, apakah masker bisa menyebabkan hipoksia?

Spesialis paru mengatakan pemakaian masker untuk mencegah penularan virus tidak akan menimbulkan hipoksia, yaitu kondisi berkurangnya kadar oksigen dalam jaringan untuk dapat mempertahankan fungsi tubuh, dan tidak juga mengurangi fungsi paru. "Tentu ada penurunan (kadar) oksigen, tapi itu masih bisa ditoleransi," kata Dokter paru Rumah Sakit (RS) Persahabatan dr. Andika Chandra Putra, Sp.P, PhD melalui sambungan telepon, Kamis (3/9).

Ia menduga pemakaian masker tersebut dapat menurunkan volume oksigen yang masuk ke dalam tubuh. Namun, penurunan tersebut tidak signifikan sehingga tidak sampai mengurangi kebutuhan oksigen dalam tubuh.

"Tidak signifikan (berkurangnya). Sebagai contoh misalkan kita yang sering menggunakan N95. Apakah fungsi parunya menurun atau oksigennya yang menurun? Sampai saat ini dari beberapa laporan kasus tidak ada perubahan (fungsi paru)," kata dia.

Batuk, sesak napas, demam, kehilangan indera penciuman, dan perasa merupakan gejala yang banyak dijumpai dari orang yang terinfeksi Covid-19. Namun, belakangan ditemukan gejala baru yang dinamai happy hypoxia syndrome.

Pakar Penyakit Dalam Spesialis Paru-Paru (Internis Pulmonologist) FKKMK UGM, dr. Sumardi mengatakan, happy hypoxia syndrome merupakan kondisi orang yang kadar oksigen dalam tubuhnya rendah. Tapi, terlihat seperti orang normal.

Sumardi menerangkan, normalnya kadar oksigen dalam tubuh seseorang di atas 95 persen. Meski begitu, penurunan kadar oksigen dalam kondisi ini tidak membuat orang kesulitan bernapas dan tidak membuat merasa terengah-engah.

"Kepada orang yang mengalami happy hypoxia ini tampak normal atau biasa-biasa saja. Karenanya, sering dinamakan silent hypoxia, sebab terjadinya perlahan dan lama-lama lemas dan tidak sadar," kata Sumardi.

Ia menuturkan, hipoksia terjadi akibat ada penjendalan di saluran pembuluh darah. Disebabkan peradangan atau inflamasi di pembuluh-pembuluh darah, terutama di paru-paru karena kadar oksigen dalam tubuh terus berkurang.

Kepala Divisi Pulmonologi dan Penyakit Kritis RSUP Dr. Sardjito tersebut menekankan, happy hypoxia jika tidak segera ditangani akan mengancam nyawa pasien Covid-19. Sebab, penjendalan tidak hanya akan terjadi di paru-paru.

"Tapi, bisa ke organ-organ lainnya seperti ginjal dan otak yang bisa menyebabkan kematian," ujar Sumardi.

Keberadaan happy hypoxia bisa diketahui dalam pasien Covid-19 yang mendapat perawatan di rumah sakit. Pemantauan kadar oksigen dalam darahnya, biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pulse oximeter.

Untuk pasien yang tidak menunjukkan gejala, terutama yang isolasi di rumah, ia mengimbau selalu monitor kondisi tubuh. Terus waspada bila muncul gejala tiba-tiba lemas, padahal tidak aktivitas atau olah raga yang kurangi energi.

"Kalau tiba-tiba merasa lemas, tapi makan dan minum masih biasa harus segera lapor rumah sakit. Lemas ini karena oksigen di organ berkurang, jadi harus cepat ke RS agar bisa mendapatkan penanganan yang tepat," kata Sumardi.

Mengapa pasien bisa tidak menyadari saat mengalami kondisi happy hipoxia? "(Covid-19) memang utamanya adalah menyerang paru-paru," jelas Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH MMB FINASIM FACP FACG, saat dihubungi Republika.co.id.

Covid-19 dapat menyebabkan peradangan yang luas di paru-paru sehingga menyebabkan fungsi paru menurun. Dalam kondisi normal, pasien dengan penurunan fungsi paru akan mengalami sesak napas sebagai respons tubuh untuk mendapatkan oksigen lebih banyak.

Ketidakmunculan sesak napas pada pasien Covid-19 yang mengalami happy hypoxia justru berbahaya. Alasannya, sesak napas "dibutuhkan" dalam kondisi hipoksia sebagai pertanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada paru-paru. Tanpa kemunculan sesak napas ini, pasien yang mengalami hipoksia tidak menyadari kondisinya sehingga berisiko terlambat untuk mendapatkan penanganan medis di rumah sakit.

Prof Ari mengungkapkan ada dua hal yang mungkin membuat pasien Covid-19 bisa tidak merasa sedang mengalami hipoksia. Salah satunya, Covid-19 dapat menyerang pernapasan sehingga membuat efek sesak napas tidak muncul ketika pasien tersebut mengalami hipoksia. Kedua, peradangan yang luas di paru-paru juga dapat membuat pasien yang hipoksia tidak merasa sesak napas.

"Kondisi itu tidak membuat orang itu menjadi sesak napas, makanya itu yang kita bilang happy hypoxia," lanjut Prof Ari.

Prof Ari mengatakan saturasi oksigen yang normal berkisar di angka 95-100 persen. Penafsiran saturasi oksigen di angka 90-95 persen akan sangat bergantung pada kondisi tiap individu.

Sebagai contoh, perokok yang memiliki masalah paru-paru mungkin memang hanya memiliki saturasi oksigen 92-93 persen dalam kesehariannya. Akan tetapi, saturasi oksigen di bawah 95 persen pada individu yang sehat dapat menjadi petunjuk adanya masalah pada paru-paru. "Kalau di bawah 90 (persen) itu sudah parah," ungkap Prof Ari.

Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Erick Thohir meminta masyarakat disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan dengan selalu mengenakan masker saat beraktivitas. Erick menyampaikan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kedisiplinan masyarakat.

"Jangan diputarbalikan ketika kita terus meningkatkan eskalasi dari Inpres tersebut nanti dibilang represif, pemerintah memakai kekuatan," ujar Erick saat koordinasi dengan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng Mohammad Faqih dan Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadillah di Jakarta, Kamis (3/9).

Padahal, kata Erick, masyarakat yang tidak mengenakan masker justru membahayakan orang lain lantaran bisa terjangkit Covid hingga mengakibatkan meninggal dunia.

"Yang tidak pakai masker, menularkan orang, orangnya masuk rumah sakit, amit-amit meninggal, hukumannya apa. Nah itu yang saya bilang kedisiplinan dari masyarakat juga penting, kalau mereka sayang kepada orangtuanya dan dirinya," ucap Erick.

Erick mengingatkan perang lawan Covid-19 menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa, bukan hanya pemerintah. Erick membantah tudingan sejumlah pihak yang menyebut pemerintah lebih memprioritaskan aspek ekonomi dibandingkan kesehatan dalam penanganan Covid-19. Dalam program kerja KPCPEN, lanjut Erick, fokus pertama ialah Indonesia Sehat kemudian Indonesia Bekerja lalu Indonesia Tumbuh.

"Jadi tidak bicara Indonesia tumbuh dulu nomor satu tapi Indonesia sehat dulu," kata Erick.

photo
Masker Tiga Lapis WHO - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement