Selasa 01 Sep 2020 09:49 WIB

Vonis Sri Kini Lebih Rendah dari Pelaku Korupsi Dana Desa

PK dikabulkan MA, vonis mantan Bupati Talaud Sri Wahyumi berkurang 2,5 tahun penjara.

Sri Wahyumi Maria Manalip saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sri Wahyumi Maria Manalip saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Antara

Mahkamah Agung (MA) mengurangi hukuman penjara Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip dari 4,5 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara. Pemotongan itu dilakukan setelah MK mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Sri Wahyumi.

Baca Juga

"Kabul permohonan PK Pemohon, batal putusan judex facti, kemudian MA mengadili kembali: menyatakan Pemohon PK terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a UUPTPK. Menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp  200 juta /subsider 6 bulan kurungan, " kata Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi Republika, Senin (31/8).

Putusan tersebut diketok oleh ketua majelis Suhadi dengan anggota Eddy Army dan M Askin. Putusan itu diketok pada  Selasa (25/8). Suhadi sehari-hari adalah Ketua Muda MA bidang Pidana.

Di sisi lain, MA justru menolak PK yang diajukan perantara suap Sri Wahyumi, Benhur Lelonoh. Ia dihukum lebih berat, yaitu 4 tahun penjara dan dinyatakan terbukti menjadi perantara suap Sri Wahyumi.

Di tingkat pertama, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Sri Wahyumi terbukti menerima suap dari pengusaha Bernard Hanafi Kalalo melalui orang kepercayaannya Benhur Lalenoh terkait pekerjaan revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo tahun anggaran 2019 di Kabupaten Kepulauan Talaud. Suap diberikan ke Sri Wahyumi itu dimaksudkan agar Sri Wahyumi membantu memenangkan perusahaan yang digunakan Bernard dalam lelang pekerjaan revitalisasi Pasar Lirung dan pekerjaan revitalisasi Pasar Beo tahun anggaran 2019.

Sri Wahyumi juga terbukti menerima sejumlah barang mewah dari Bernard sebagai realisasi commitment fee terkait pengurusan dua pasar tersebut. Rinciannya, telepon satelit merek Thuraya beserta pulsa sebesar Rp 28 juta, tas merek Balenciaga seharga Rp 32,9 juta, dan tas merek Chanel seharga Rp 97,3 juta.

Sri juga menerima jam tangan merek Rolex seharga Rp 224 juta, cincin merek Adelle seharga Rp 76,9 juta, dan anting merek Adelle seharga Rp 32 juta. Jumlah total nilai barang yang diterimanya sebesar Rp 491,94 juta.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam putusan MA yang mengabulkan PK Sri Wahyumi. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Senin (31/8), membandingkan vonis PK yang dijatuhkan oleh MA tersebut terlihat jauh lebih rendah dibanding hukuman terhadap Abdul Latif, Kepala Desa di Kabupaten Cirebon. Diketahui, Kepala Desa itu dihukum selama 4 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana desa sebesar Rp 354 juta.

"Selain itu, putusan PK itu aneh, bagaimana mungkin hukuman perantara suap jauh lebih tinggi dibanding dengan hukuman penyelenggara negara yang menjadi dalang dari tindak pidana korupsi," ujar Kurnia.

Melihat fenomena tersebut, lanjut Kurnia, ICW mengaku tak kaget lagi. Sebab, sedari awal MA tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi.

"Tren vonis ICW pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi," tegas Kurnia.

Adapun, KPK mengkhawatirkan putusan MA yang mengurangi hukuman Sri Wahyumi Maria Manalip menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Kami khawatir putusan tersebut menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (1/9).

Ali mengakui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK saat ini belum menerima salinan putusan PK resmi dari MA tersebut. Namun, jika putusan tersebut benar demikian maka membandingkan antara putusan PK dan tuntutan JPU yang sangat jauh. KPK kecewa atas putusan tersebut.

"Apalagi kita ketahui bahwa Majelis Hakim memutus yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Namun, vonis yang dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, yaitu minimum pidana penjara selama 4 tahun," ucap Ali.

photo
Tren vonis ringan terdakwa korupsi pada 2019 - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement