REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Puti Almas, Adysha Citra Ramadhani
Lembaga Biologi Molekuler mengidentifikasi adanya strain virus corona penyebab Covid-19 yang lebih menular (infectious), D614G, di Indonesia sebagai hasil mutasi dari varian asli virus sebelumnya. Strain mutasi virus SARS-CoV-2, D614G, juga sudah dideteksi di sejumlah negara lain termasuk Malaysia.
"Yang mungkin menjadi perhatian utama saat ini adalah pertanyaan apakah ada di antara virus-virus yang 'whole genom sequencing'-nya (pengurutan keseluruhan genom) sudah di dilaporkan ke GISAID, apakah ada yang mengandung mutasi yang menunjukkan virus itu memiliki potensi bisa menular lebih cepat yaitu disebut D614G. Dapat kami sampaikan saat ini memang sudah diidentifikasi dan sudah dilaporkan," kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio, dalam konferensi pers virtual LIPI Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture XX, Jakarta, Jumat (28/8).
Hasil identifikasi tentang keberadaan strain virus penyebab Covid-19 yang jauh lebih mudah menular tersebut akan disampaikan Menteri Riset dan Teknologi kepada Menteri Kesehatan. Informasi itu sangat berkaitan dengan upaya pengendalian Covid-19 secara keseluruhan.
Amin mengatakan Indonesia terus melakukan kegiatan "whole genom sequencing" atau pengurutan keseluruhan genom dari virus SARS-CoV-2 untuk mendapatkan lebih banyak informasi genetik tentang virus itu. Sehingga bisa memahami karakteristik virus dan mutasi yang terjadi.
Data urutan genom juga akan sangat berguna terutama untuk melacak transmisi atau penyebaran virus di Indonesia, mengidentifikasi target untuk terapi dan vaksin, serta memprediksi ancaman pandemi berikutnya.
Ilmuwan Biologi Molekuler Prof Herawati Supolo Sudoyo yang juga merupakan Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bidang Penelitian Fundamental mengatakan perubahan atau mutasi pada virus SARS-CoV-2 itu menyebabkan virus menjadi lebih infeksius. Tapi transisi itu berbeda di setiap wilayah di dunia mulai dari Eropa, Amerika Utara, Oceania dan Asia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 menjadi tujuh tipe atau clade yakni S, V, L, G, GH, GR dan O (lainnya), yang mana GH adalah yang paling agresif. Herawati menuturkan distribusi clade yang ada di Asia sangat beragam termasuk yang ada di Indonesia.
"Ini juga mengundang pertanyaan apa penyebab variasi tersebut apakah ada kemungkinan lingkungan berpengaruh ataupun inang juga berperan? Betul-betul banyak yang belum diketahui tentang virus ini yang layak untuk diteliti lebih lanjut," ujarnya.
Herawati mengatakan data urutan keseluruhan genom virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 berguna untuk bisa melihat mutasi yang terjadi dan mencari perubahan protein spike dari virus itu. Untuk itu, kegiatan "whole genom sequencing" dari virus SARS-CoV-2 masih terus dilaksanakan di Indonesia.
Pada pertengahan Agustus, Malaysia melaporkan temuan mutasi virus corona jenis baru dengan kekuatan 10 kali lebih menular. Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Malaysia Noor Hisham Abdullah mengatakan, rakyatnya harus lebih berhati-hati atas adanya mutasi D614G dari virus ini.
"Ditemukan 10 kali lebih mudah untuk menginfeksi orang lain dan lebih mudah menyebar, jika disebarkan oleh individu yang bersifat super spreader (penyebar super),” ujar Hisham dalam sebuah pernyataan melalui jejaring sosial Facebook, dilansir Channel News Asia, Selasa (18/8).
Mutasi tersebut terdeteksi oleh Malaysian Institute for Medical Research, sebagai hasil dari uji isolasi dan kultur pada tiga kasus dari klaster Sivagangga dan satu kasus dari klaster Ulu Tiram. Saat ini, Hisham menyebut kedua klaster di negara itu dalam kondisi terkendali karena adanya tindakan kontrol Kesehatan masyarakat yang cepat.
"Tes awal ini dan beberapa tes lanjutan sedang dilakukan untuk menguji beberapa kasus lain, termasuk kasus indeks untuk dua klaster,” jelas Hisham.
Hisham lebih lanjut mengatakan bahwa mutasi D614G ditemukan oleh para ilmuwan pada Juli lalu. Hal ini kemungkinan menyebabkan penelitian vaksin yang telah dilakukan belum lengkap atau tidak efektif terhadap mutasi ini.
Masih banyak yang belum diketahui dari Covid-19. Salah satunya adalah kemungkinan tertular kembali atau reinfeksi.
Tim peneliti di Hong Kong telah membuktikan adanya kasus reinfeksi Covid-19 pertama yang berhasil didokumentasikan. Pasien tersebut dua kali terkena Covid-19 dari dua strain virus SARS-CoV-2 yang berbeda.
Pasien berusia 33 tahun tersebut pertama kali terinfeksi pada April dan hanya mengalami gejala ringan. Pasien tersebut telah dinyatakan sembuh. Selang 4,5 bulan pascadinyatakan sembuh, pasien tersebut kembali terinfeksi oleh virus SARS-CoV-2.
Infeksi kedua yang dialami pasien laki-laki tersebut terdeteksi setelah dia menjalani skrining di bandara pada Agustus ini. Pasien tersebut menjalani skrining di bandara saat pulang ke Hong Kong dari Spanyol.
Pasien yang diketahui bekerja sebagai staff IT ini tidak menunjukkan gejala sama sekali pada infeksi kedua. Penelitian juga mendapati bahwa infeksi kedua ini disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 dengan strain yang berbeda dari infeksi pertama.
"(Strain virusnya) jelas berbeda," sebut tim peneliti, seperti dilansir News.com.au.
Meski dua kali terkena Covid-19, pasien tersebut tampak tidak memiliki faktor risiko. Selain masih berusia muda, pasien tersebut juga memiliki kondisi kesehatan yang baik sebelum terinfeksi.
Di satu sisi, tim peneliti menilai temuan ini mengindikasikan bahwa infeksi kedua memiliki kecenderungan untuk lebih ringan dibandingkan infeksi pertaa. Di sisi lain, temuan baru ini juga mengkhawatirkan karena mengindikasikan bahwa risiko reinfeksi itu ada.
"(Risiko reinfeksi ada) bahkan bila pasien telah mendapatkan imunitas dari infeksi alami atau lewat vaksinasi," ujar tim peneliti dari University of Hong Kong.
Sejauh ini, banyak orang meyakini bahwa pasien yang telah sembuh dari Covid-19 memiliki imunitas agar tak terkena reinfeksi. Alasannya, tubuh pasien telah memiliki antibodi yang dapat memberikan perlindungan.
"Akan tetapi, ada bukti bahwa beberapa pasien memiliki kadar antibodi yang menyusut setelah beberapa bulan," tambah tim peneliti.
Tim peneliti menilai temuan mereka mengindikasikan adanya kemungkinan SARS-CoV-2 akan terus ada di tengah masyarakat seperti halnya virus corona lain yang menyebabkan pilek. Selain itu, vaksinasi juga sebaiknya tetap dilakukan oleh orang-orang yang pernah terkena Covid-19 bila vaksin sudah ditemukan.
"Mengingat imunitas dapat bertahan cukup singkat setelah infeksi alami," timpal tim peneliti.