REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyatakan terjadi penurunan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) secara drastis pada tahun ini. Penurunan itu dinilai akibat situasi lapangan yang tidak sepanas tahun lalu.
Kepala Sub Direktorat Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, KLH, Anis Susanti Aliati, mengatakan, total area karhutla hingga Juli 2020 mencapai 64.602 hektare (ha). Angka itu turun 52,41 persen dibanding periode sama tahun lalu yang tembus 135.747 ha.
"Perkiraan puncak musim kemarau tahun ini dari BMKG itu pada bulan Juli-September. Kita harus hati-hati terutama Agustus ini," kata Anis dalam diskusi virtual Forum Wartawan Pertanian, Selasa (25/8).
Anis mengatakan, dari prediksi BMKG, sekitar 64,9 persen wilayah Indonesia akan memasuki puncak kemarau tahun ini. Adapun mulai September 2020, diprediksi menurun menjadi hanya 18,7 persen wilayah. Kendati demikian, Anis mengklaim, KLHK tetap meningkatkan upaya untuk pencegahan Karhutla meskipun titik panas tidak bisa hilang 100 persen.
Menurut dia, terdapat tiga solusi permanen yang sudah disiapkan. Yakni optimalisasi pemanfaatan data iklim, monitoring cuaca, sekaligus teknologi modifikasi cuaca (TMC). Selanjutnya, upaya-upaya pencegahan karhutla yang sudah rutin dilakukan ditingkatkan frekuensinya.
"Lalu pengelolaan dari para pemegang konsensi lahan kita harap dapat melakukan kegiatan yang aman. Kita coba terapkan pembukaan lahan tanpa bakar sehingga limbah hasil pembukaan bisa dimanfaatkan untuk membuat cuka kayu atau disinfektan misalnya," ujar Anis.
Ketua Bidang Sustainibility Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bambang Dwi Laksono, mengatakan, terdapat tantangan untuk penanganan karhutla, termasuk di area perkebunan yang masih dihadapi saat ini.
Pertama, kata Bambang, lahan perkebunan pada umumnya berada di remote area dengan sistem komunikasi dan transportasi yang terbatas. Hal itu menyebabkan deteksi kejadian dan penanganannya kerap kali mengalami keterlambatan.
Kedua, dia menyinggung, soal peraturan yang membolehkan pembakaran lahan untuk membuka lahan baru dengan alasan kearifan lokal. Menurut dia, tanpa ada monitoring yang efektif, potensi pemicu kebakaran akan besar.
Selanjutnya tantangan ketiga yakni soal kompleksitas budaya setempat. Hal itu harus disikapi dengan program edukasi dan komunikasi yang tepat sesuai kultur masyarakat yang menjadi objek pencegahan.
Adapun yang terakhir, pandemi Covid-19 turut menjadi tantangan saat ini, Sebab, ada keterbatasan interaksi sehingga berpotensi menyebabkan rendahnya pelaksanaan program kerja sama dengan masyarakat lokal dalam penanganan karhutla.