REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu khawatir, serta curiga terkait penyidikan pemerasan kepala sekolah di Indragiri Hulu, Riau. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono menegaskan, meskipun objek penyidikan kasus penerimaan dengan paksaan tersebut menetapkan tiga jaksa daerah sebagai tersangka, proses penegakan hukumnya di 'Gedung Bundar' tak bakal pandang bulu.
"Sekarang ini kan mekanisme (proses penyidikan) sudah jalan. Yang tidak objektif yang mana?," kata Ali, pada Kamis (20/8).
Ali mengatakan, Kejakgung menerima semua kritikan dan bentuk pengawasan dalam setiap penanganan kasus yang menyeret personil kejaksaan ke ruang penyidikan di Gedung Bundar. Termasuk, kata dia, kritikan dan saran dari KPK, serta dari masyarakat umum. "Bisa dikawal kawan-kawan," ucapnya.
Karena itu menurut Ali, tak tepat jika institusi penegak hukum lainnya, seperti KPK merasa curiga atas penyidikan yang sudah dilakukan di Kejakgung. "Itu kan tiga tersangkanya (tiga jaksa) sudah ditahan juga. Kan begitu," ujarnyaAli menambahkan.
Ali menyamakan persoalan serupa saat Kejakgung mengambil alih penyidikan korupsi dari KPK pada 2019 yang melibatkan dua personil jaksa di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. "Dulu itu (kasus korupsi Kejati DKI Jakarta), kita yang tangani sendiri juga kok," ucapnya lagi.
Kejakgung pada Selasa (18/8), mencopot jabatan enam jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Indragiri Hulu, Riau. Mereka yang dicopot, yakni Kepala Kejari Hayin Suhikto, Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Ostar Alpansiri, Kasi Intelijen Bambang Dwi Saputra, Kasi Perdata dan TUN Berman Brananta, Kasi Pengelolaan Barang Bukti/Barang Rampasan Andy Sunartejo, serta Rionald Febri Rinando yang menjabat sebagai Kasubsi Barang Rampasan Seksi Barang Bukti/Rampasan.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono menerangkan, keenam jaksa yang dicopot lantaran terbukti melakukan perbuatan tercela. Berupa, penerimaan dengan cara pemerasan 64 Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) se-Indragiri Hulu. Penerimaan dengan cara memaksa itu, terkait dengan pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2019. Proses penyidikan, menyebutkan uang hasil penerimaan dengan paksaan tersebut, sekitar Rp 650-an juta sampai Rp 1,4 miliar.
Selain mencopot jabatan keenam jaksa, Kejakgung juga mengambil alih penyidikan hukum dugaan korupsinya. Tiga dari enam jaksa ditetapkan sebagai tersangka di JAM Pidsus, Selasa (18/8). Yakni, tersangka Hayin Sutikno (Kajari), Ostar Alpansiri (Kasi Intel), dan Rionald Febri Rinando (Kasubsi Barang Rampasan). JAM Pidsus menjerat tiga jaksa tersangka itu dengan sangkaan Pasal 12 huruf e, atau Pasal 11, atau Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 20/2001. Ketiga jaksa tersangka itu, pun sudah ditahan di Rutan Salemba, cabang Kejakgung, di Jakarta Selatan.
Terkait kasus penerimaan dengan paksaan itu, KPK sebelumnya sudah mulai melakukan penyelidikan. Kamis (13/8), Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, adanya dugaan korupsi berupa penyalahgunaan kewenangan para jaksa di Kejari Indragiri Hulu terhadap sejumlah kepala sekolah.
KPK mulai melakukan pemeriksaan terhadap 83 Kepala SMP se-Indragiri Hulu. Akan tetapi, proses penyelidikan yang dilakukan KPK, kalah cepat dengan langkah Kejakgung yang langsung menetapkan tersangka, pada Selasa (18/8).
Komisioner KPK Nawawi Pamolango, menilai langkah Kejakgung melangkahi proses pengungkapan yang sudah dimulai para penyelidiknya. Nawawi meminta agar Kejakgung menyerahkan proses hukum terkait pemerasan oleh jaksa tersebut ke penyidik di KPK. Karena menurut dia, akan menjadi tak objektif jika Kejakgung melakukan penyelidikan, maupun penyidikan terhadap jaksanya sendiri.
"Idealnya, dugaan tindak pidana korupsi oleh (yang dilakukan) aparat penegak hukum (kejaksaan), ditangani oleh KPK," kata Nawawi.
Kapuspenkum Hari melanjutkan, sebetulnya pengungkapan kasus tersebut sudah dimulai penyelidikannya oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau sejak Juli 2020. Penyelidikan di kejaksaan tinggi daerah tersebut, sebagai dasar pencopotan jabatan yang dilakukan Kejakgung. Penyelidikan di Kejati Riau, pun menebalkan adanya dugaan pidana korupsi.
"Kejaksaan Tinggi Riau dalam LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan), yang diserahkan ke JAM Was (Jaksa Agung Muda Pengawasan) menyebutkan adanya dugaan pidana dan menyerahkan penyidikannya ke JAM Pidsus di Kejaksaan Agung," jelas Hari.
Adanya proses penyelidikan, dan penyidikan awal dari kejaksaan lokal tersebut, yang menurut Hari, membuat JAM Pidsus Kejakgung lebih cepat selangkah dari KPK dalam menetapkan tersangka. Akan tetapi, Hari mengakui, adanya upaya KPK yang melakukan penyelidikan berdasarkan laporan dari Inspektorat Kabupaten Indragiri Hulu, Riau dalam kasus yang sama. Namun begitu, kata Hari, tak semestinya ada rivalitas, dan kecurigaan antara Kejakgung dan KPK dalam penananganan perkara tersebut.
"Kita di kejaksaan, dan KPK, akan bekerjasama dalam kasus ini untuk saling men-suport data-data yang dibutuhkan untuk penyidikan," ucapnya.