Rabu 12 Aug 2020 07:39 WIB

Menetapkan Jaksa Pinangki Sebagai Tersangka

Kejakgung merasa sudah temukan dasar hukum kuat tetapkan Jaksa Pinangki tersangka.

Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra (tengah). Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang diduga terkait dengan skandal Djoko Tjandra diperkirakan akan segera ditetapkan sebagai tersangka. Kejakgung berencana mengumumkan secara resmi penetapan tersangka Pinangki pada Rabu (12/8).
Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra (tengah). Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang diduga terkait dengan skandal Djoko Tjandra diperkirakan akan segera ditetapkan sebagai tersangka. Kejakgung berencana mengumumkan secara resmi penetapan tersangka Pinangki pada Rabu (12/8).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Haura Hafizhah, Dian Fath Risalah

Kejaksaan Agung (Kejakgung) akan menetapkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka terkait skandal Djoko Sugiarto Tjandra, Rabu (12/8). Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah memastikan hasil pemeriksaan dan gelar perkara yang dilakukan, pada Selasa (11/8) malam sudah menemukan dasar hukum yang kuat untuk menetapkan Pinangki sebagai tersangka.

Baca Juga

“Sekarang sudah cukup alat buktinya,” kata Febrie saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung, Jakarta, Selasa (11/8) malam. Namun kata dia, pengumuman resmi penetapan Pinangki sebagai tersangka, baru akan dilakukan pada Rabu (12/8). “Besok lah (12/8) diumumkannya. Masak malam-malam diumumkan (tersangka),” kata Febrie.

Febrie menerangkan, proses pengumpulan alat bukti, yang dilakukan penyidik pada Selasa (11/8) malam, disertai dengan penggeledahan dan penyitaan. Kegiatan itu dilakukan di dua tempat.

“Penggeledahan dan penyitaan terkait kasus Jaksa P (Pinangki) ini, dilakukan, satu di Jalan Sriwijaya, satu lagi di Tebet (kawasan Jakarta Selatan),” kata Febrie. Febrie mengaku tak hafal, objek hukum apa saja yang berhasil dibawa sita penyidik. “Ada lah (yang disita). Yang jelas sita itu, bagian dari alat bukti,” sambung Febrie.

Selain itu, kata Febrie, tim penyidik, pada malam yang sama (11/8), juga melakukan pemeriksaan terhadap satu saksi. Yakni Rahmad, saksi dari kalangan pengusaha yang diketahui berfoto bersama Pinangki, dalam pertemuan dengan Djoko Tjandra di Malaysia.

Kejakgung, pada Senin (10/8), batal memeriksa Rahmad karena mangkir. “Makanya, setelah Rahmad itu diperiksa tadi (11/8 malam), langsung didiskusikan untuk alat-alat bukti. Dan dari diskusi, alat bukti untuk ditetapkan sebagai tersangka sudah cukup,” kata Febrie menambahkan.

Pekan lalu, Jampidsus Ali Mukartono sudah menjanjikan akan mengumumkan hasil paparan terkait pengungkapan dugaan pidana yang dilakukan Jaksa Pinangki. Pinangki pada 29 Juli dicopot jabatannya selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejakgung. Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) menyatakan, Pinangki melakukan pelanggaran berat kode etik dan disiplin Kejaksaan. Yaitu, melakukan perjalanan dinas luar negeri tanpa izin atasan ke Malaysia, dan Singapura sembilan kali sepanjang 2019.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), Jamwas meyakini, dinas luar negeri ilegal Pinangki, untuk menemui Djoko Tjandra yang saat itu masih berstatus buronan. Djoko Tjandra, koruptor pengalihan hak tagih Bank Bali 1999 yang berhasil ditangkap Bareskrim Polri, di Malaysia (30/7), setelah buron 11 tahun sejak 2009. Pinangki, pun diduga menerima uang dan fasilitas serta janji lain dari Djoko Tjandra. Atas dugaan itu, pada Selasa (4/8), Jamwas melimpah LHP Pinangki, ke Jampidsus untuk meneruskan sangkaan pidana.

Pekan lalu, Febrie mengungkapkan, penyidikan yang dilakukan timnya terkait Pinangki, kuat mengarah ke dugaan pidana korupsi, berupa penerimaan suap dan gratifikasi. “Sangkaannya ini Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 11,” terang Febrie, Jumat (7/8).

Pinangki diduga melanggar Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) 20/2001. Pasal-pasal itu menebalkan ancaman penjara satu sampai lima tahun, bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang nekat menerima pemberian uang, atau janji, atau hadiah dari orang lain, terkait dengan jabatannya. “Penerimaan uang semua itu sangkaannya,” terang Febrie.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, kemarin telah menyerahkan bukti ke Komisi Kejaksaan (Komjak) terkait dugaan pelanggaran etik dan dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi jaksa Pinangki. MAKI menemukan adanya bukti perjanjian di antara keduanya.

"Jadi, ada dugaan korupsi jaksa Pinangki ini menerima sebuah janji, kalau berhasil diberikan sesuatu imbalan yang besar dalam bentuk dugaan kamuflase membeli perusahaan energi yang diduga itu berkaitan teman-temannya oknum Jaksa Pinangki," kata Boyamin lewat video yang diterima Republika.

Kemudian, ia melanjutkan imbalan yang akan diterima Pinangki yaitu pembelian sebuah perusahaan yang bergerak dalam sektor tambang energi senilai 10 juta dolar AS. Imbalan itu akan diberikan kepada Pinangki jika ia berhasil melakukan misi yang diberikan Djoko Tjandra.

Ia menambahkan ada pejabat tinggi di Kejakgung yang menghubungi Djoko Tjandra setelah tanggal 29 Juni 2020. Artinya setelah Jaksa Agung melakukan pembongkaran Djoko Tjandra masuk Indonesia diduga masih ada pejabat tinggi di Kejakgung yang lakukan komunikasi dengan Djoko Tjandra.

Boyamin ingin hal ini dilaporkan ke Komjak untuk ditelusuri apa pembicaraan pejabat tinggi Kejagung itu dengan Djoko Tjandra dan dari siapa nomor telepon yang diterima itu, kemudian harus dilacak siapa sumber penelepon Djoko Tjandra.

"Kalau nomor ini didapatkan dari Djoko Tjandra rasanya tidak mungkin. Pasti ada yang berikan kepada pejabat tinggi di Kejakgung. Maka dari itu, saya minta hal ini ditelusuri oleh Komjak," kata dia.

Polemik terhadap pemeriksaan Jaksa Pinangki sempat ditambah adanya pedoman dari Jaksa Agung soal pemeriksaan jaksa. Kejakgung akhirnya mencabut pedoman Nomor 7 Tahun 2020 yang mengatur soal pemeriksaan jaksa harus seizin Jaksa Agung. Diduga pencabutan pedoman tersebut lantaran banyaknya kecurigaan atau sinisme  terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin yang membuat aturan tersebut.

Banyak pihak yang menduga Kejaksaan tak ingin dugaan tindak pidana mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Pinangki Sirna Malasari diambil oleh begitu saja oleh aparat penegak hukum lain.

"Dengan ini Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung Atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan Dan Penahanan Terhadap Jaksa Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana, dinyatakan dicabut berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI.  Nomor 163 Tahun 2020 tanggal 11 Agustus 2020 tentang Pencabutan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Pemberian Izin Jaksa Agung Atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan Terhadap Jaksa Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana, " kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono dalam keterangannya, Selasa (11/8) malam.

Hari menegaskan, bahwa Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tersebut belum secara resmi dikeluarkan atau diedarkan oleh Biro Hukum Kejaksaan Agung. Sehingga beredarnya pedoman tersebut melalui media sosial WhatsAp diduga dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. "Oleh karena itu akan dilakukan penelusuran terhadap siapa yang menyebarkannya, "tegas Hari.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga rencana penerbitan pedoman tersebut terkait erat dengan dugaan tindak pidana Pinangki terkait skandal pelarian Djoko Tjandra. "ICW menduga keras bahwa dikeluarkannya Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 yang mengatur bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan Jaksa mesti seizing Jaksa Agung terkait dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pedoman tersebut diduga agar perkara tindak pidana yang baru saja disidik oleh Kejaksaan terkait dengan oknum jaksa tersebut tidak bisa diambil alih begitu saja oleh penegak hukum lain," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Seharusnya, kata Kurnia, Kejaksaan Agung mengingat mengenai asas hukum equality before the law. Dengan asas tersebut seharusnya setiap orang, termasuk Jaksa tidak berhak mendapat perlakuan khusus. Apalagi, Pasal 112 KUHAP menyatakan secara tegas penyidik dapat memanggil saksi maupun tersangka dan kedua subyek hukum tersebut wajib memenuhi panggilan penegak hukum.

"Tanpa adanya mekanisme perizinan tertentu oleh pihak manapun," tegasnya.

ICW, pun meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus dugaan suap maupun gratifikasi yang dilakukan Jaksa Pinangki. Pengambilalihan ini penting agar penanganan kasus tersebut obyektif dan mencegah terjadinya konflik kepentingan.  

"Mengingat lembaga antirasuah tersebut memiliki kewenangan berupa koordinasi, supervisi, dan mengambil alih perkara yang ditangani oleh penegak hukum lain. Hal ini penting untuk menjamin objektivitas penanganan perkara agar tidak terjadi nuansa konflik kepentingan dalam penanganan perkara tersebut," katanya.

Senada dengan ICW, Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango  juga menilai aturan tersebut memang dapat menimbulkan kecurigaan dan sinisme publik. Terlebih aturan tersebut dibuat di tengah bergulirnya kasus Djoko Tjandra. "Mengeluarkan produk seperti itu di saat-saat 'Pandemi kasus Djoko Tjandra' dan pemeriksaan Jaksa Pinangki, sudah pasti akan menimbulkan sinisme dan kecurigaan publik," kata Nawawi,

Lebih lanjut, Nawawi menuturkan, aturan tersebut terlihat seperti menggerus upaya pemberantasan korupsi. Menurut dia menjadi wajar bila sinisme publik muncul akibat munculnya aturan ini. "Saya hanya ingin menyatakan, wajar jika muncul kecurigaan dan sinisme publik terhadap produk-produk semacam itu di tengah ramainya kasus Djoko Tjandra yang ikut menyeret nama oknum jaksa," katanya.

photo
Pejabat Publik Korban Djoko Tjandra - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement