Selasa 04 Aug 2020 19:36 WIB

Dradjad: Reshuffle juga Percuma Kalau Data tak Akurat

Ada persoalan dalam akurasi data dan prioritas kebijakan pemerintah.

Ekonom Indef Dradjad Wibowo.
Foto: istimewa/youtube
Ekonom Indef Dradjad Wibowo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Hari Wibowo menilai, kalaupun dilakukan reshuffle, maka hal itu hanya akan percuma. Karena menurutnya, ada persoalan dalam akurasi data dan prioritas kebijakan pemerintah.

"Soal data, dari beberapa kali pernyataan Presiden tentang ekonomi keuangan, saya menduga Presiden mendapat masukan data yang tidak akurat,” kata Dradjad dalam pernyataannya melalui watsapp kepada Republika.co.id, Selasa (4/8).

Dradjad mencontohkan, saat video Presiden marah tanggal 18 Juni, ternyata data angaran kesehatan yang disebut Presiden tidak klop dengan lampiran Perpres 54/2020. Bahkan Perpres 72/2020 baru diteken tanggal 24 Juni 2020. Padahal tanpa Perpres 72, semua menteri tidak punya wewenang memakai dana di pos Bendahara Umum Negara (BUN), kecuali Menkeu.

"Jadi harusnya Presiden marah ke mereka yang menyiapkan Perpres 72, kenapa baru selesai 24 Juni?” ungkap ekonom Indef ini.

Sekitar 40 hari setelah Perpres 72 ditekan, menurut Dradjad, per 3 Agustus kemarin serapannya Rp.141 triliun atau sekitar 20%. Kalau dibagi 40/365 hari, lanjutnya, maka serapan rata-rata seharusnya hanya 11%.

Jadi serapan 20% itu dalam 40 hari itu, menurutnya, sudah cepat sekali. Hampir dua kali lipat dari rata-rata seharusnya. “Koq Presiden masih marah dengan serapan secepat itu?. Saya menjadi penasaran, siapa kompor yang membuat Presiden marah terus?” ungkap Dradjad.

Ia mengingatkan, kalau serapan dikebut terlalu cepat, dikhawatirkan akan banyak lubang penyelewengannya. Dikatakannya, dana PEN sumbernya banyak dari utang. Jika dikeluarkan tanpa mengikuti prinsip tata kelola yang benar, malah akan bermasalah.

Dradjad juga menilai prioritas kebijakan pemerintah keliru. Menurutnya, pemerintah terlalu terobsesi dengan ekonomi. Kebijakan kesehatan masyarakat untuk mengendalikan pandemi COVID-19 dikalahkan oleh ekonomi. Akibatnya, Indonesia dinilai jelek penanganan COVID-19 nya, sesuai laporan berbagai media asing.

"Bagaimana investor dan turis asing mau datang jika demikian? Bagaimana konsumen domestik percaya diri untuk berbelanja jika takut tertular virus?” kata politikus PAN ini.

Jika pandemi terkendali, menurut Dradjad, ekonomi dan keuangan akan lebih cepat pulih. Bukti ilmiahnya banyak. Perekonomian kota-kota di Amerika Serikat ketika pandemi flu 1918 menjadi buktinya. Sekarang New Zealand dan Taiwan jadi buktinya. Mereka bergerak cepat dengan prioritas kesehatan masyarakat. Ekonomi New Zealand hanya terkontraksi -0,2% pada kuartal 1/2020. Taiwan malah masih tumbuh 1,59%.

"Soal prediksi kuartal 3/2020, akan sangat tergantung pada kondisi penularan virusnya. Sangat tergantung apakah pandemi akan terkendali,” kata Dradjad.

Dradjad mengingatkan, jika pandemi COVID-19 tidak terkendali, perekonomian beresiko menjadi sumur tanpa dasar. Maksudnya, berapa pun dana PEN digelontorkan, perekonomian tetap jelek. Ini karena investor, konsumen dan bahkan turis tetap takut mengeluarkan dana. Malah efeknya, utang menumpuk drastis, sementara ekonomi tetap jelek. "Jadi mohon, kesehatan masyarakat dijadikan prioritas, minimal sejajar dengan ekonomi,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement