REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekolah online atau pendidikan jarak jauh (PJJ) masih memberatkan para siswa di daerah. Tidak hanya pada masalah kuota data, maupun perangkat digitalnya, tetapi juga pada soal sinyal internet. Pemerintah diminta menjalin kerja sama dengan operator untuk mencarikan solusi.
Anggota DPD RI, Tamsil Linrung mengatakan PJJ bagi siswa di daerah cukup menyulitkan. Ini beda dengan siswa yang ada di perkotaan. “Saya sudah dua bulan di daerah dan sering zoom sering terkendala sinyal. Ini berimplikasi pada embiayaan yang besar,” kata Tamsil, Rabu (29/7). Di samping harus memeiliki perangkat, banyak siswa di daerah yang tidak mampu menjangkau kuota data.
Semestinya, kata Tamsil, negara memberikan subsidi yang besar, dengan membangun jaringan internet supaya masyarakat di daerah dimudahkan. Misalnya kerja sama dengan operator tertentu.
Juga diperlukan belajar bersama yang terbatas. Misalnya memiliki laptop bersama yang digunakan oleh tiga ata empat orang. “Harus difasilitasi oleh pemerintah daerah. Tanpa itu pasti akan mengalami kendala belajar,” ungkap Tamsil.
Kondisi yang sekarang, menurut Tamsil memunculkan keinginan sejumlah orang tua menginginkan agar sekolah dibuka saja. Dengan catatan siswa tetap jaga jarak, menggunakan masker, megukur suhu tubuh, dan lain-lain. “Toh sekarang masyarakat sudah bebas ke pasar, ke tempat kerja.
Pemerintah, kata Tamsil, perlu mengambil langkah tepat, dengan pengalokasian anggaran yang tepat sasaran. “Cukup berisiko juga kalau mendengarkan masukan ibu-ibu yang sudah capek mengajar anaknya, menyiapkan bahan anak-anaknya di rumah, belum kuotanya yang habis,” ungkapnya.
Menurut Tamsil, ada yang menghitung kuota data yang dipakai bisa menghabiskan jutaan rupiah. "Itu satu anak. Bagaimana kalau empat anak?. Bisa dibayangkan betapa beratnya beban yang dihadapi masyarakat,” ungkap Pendiri Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM) Serpong ini.
Terkait dengan ICM Serpong, Tamsil juga mengaku menemui kesulitan di masa pandemi Covid-19 ini. Menurut Tamsil, ada juga orang tua siswa yang menyampaikan masalah karena kena PHK sehingga kelanjutan pendidikan anaknya perlu bantuan dari phak sekolah.
“Kita memverifikasi kalau memang selama ini lancar, lalu ada masalah di masa pandemi, kita berikan dispensasi,” ungkapnya.
Persoalan pandemi covid-19, menurut Tamsil, tidak hanya berimplikasi pada siswa, tapi juga pada tenaga pengajar. Misalnya, ICM memiliki mobil antar jemput siswa, sekarang sopirnya menganggur. Mereka terpaksa dirumahkan dengan gaji dipotong 25 hingga 50 persen.
Guru-guru juga ada hal yang sama. Mereka mengajar secara daring. Sehingga uang operasionalnya juga dikurangi. “Ini mengancam pertumbuhan ekonomi. Guru kan uangnya lebih banyak digunakan untuk konsumsi, padahal sekarang membatasi konsumsi,” kata Tamsil.