REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), Mohammad Choirul Anam, meminta pemerintah pusat untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk penanggulangan Covid-19. Dia menilai, regulasi yang ada kini tidak cukup kuat sebagai payung hukum untuk mengatasi berbagai hal yang terdampak pandemi.
"Sejak awal kita minta Perppu karena tata kelola penanganan kondisi darurat kesehatan itu secara undang-undang tersebar di banyak undang-undang," ujar Anam dalam konferensi pers daring yang dilakukan di kantornya, Selasa (28/7).
Ada beberapa contoh peraturan yang menurutnya dapat diterapkan selama pandemi namun tersebar di sejumlah undang-undang (UU). Peraturan-peraturan itu, yakni UU tentang penanganan konflik sosial, UU darurat kesehatan, hingga UU kesehatan.
Perppu khusus, kata dia, diperlukan untuk mempermudah dan mengefektifkan penerapannya. Perppu khusus itu akan menyatukan poin-poin utama dari berbagai aturan tersebut dan akan terbentuk tata kelola yang baik. Selain itu, institusi kedaruratan yang langsung dipimpin oleh presiden juga ia nilai diperlukan.
Senada dengan Anam, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, juga melihat payung hukum dalam penanganan Covid-19 di Indonesia tidak cukup kuat. Salah satu contohnya, masyarakat yang dikenakan sanksi akibat melanggar protokol bisa saja menggugat balik karena ketidakkuatan regulasi tersebut.
"Sebetulnya kalo warga ingin menggugat, dasar hukumnya apa ini kita diberikan sanksi? Baik sanksi sosial maupun sanksi denda misalnya. Tidak cukup kuat. Itulah dulu dasarnya kenapa kita mengajukan Perppu," ungkap Ahmad pada kesempatan yang sama.
Ahmad menerangkan, sejak awal pihaknya sudah mengingatkan presiden dan seluruh kabinetnya, Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan. Masalah yang akan ditimbulkan oleh Covid-19 juga akan berdampak pada dimensi-dimensi yang lain, yakni politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan HAM.
"Karena itu sejak awal kami sudah mengatakan, regulasi yang ada, dalam hal ini waktu itu sebelum ada Kepres, PP, dan semacam itu, yang ada adalah UU Karantina Kesehatan. Kita katakan, itu tidak mencukupi untuk presiden mengambil sebuah sikap (dalam penanganan pandemi)," jelasnya.
Dia menjelaskan, UU Karantina Kesehatan tersebut tidak cukup karena dalam penanganan Covid-19 akan ada pembatasan-pembatasan mengenai hak asasi dari masyarakat seperti pembatasan pergerakan, ruang komunikasi, dan sebagainya. Semua akan berhubungan dengan HAM, termasuk pemenuhan hak-hak masyarakat yang terkait dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
"Kami menganggap pada waktu itu payung hukumnya harusnya Perppu. Tapi Pak Presiden waktu itu tidak mengeluarkan Perppu untuk kedaruratannya," katanya.
Ketika itu, pemerintah justru membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) soal kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Sementara soal kesehatan, yang mana merupakan masalah pokok dari pandemi, hanya berbentuk Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Pemerintah (PP).
"Itu dalam bentuk Kerpres kemudian ada PP tentang PSBB. Itu persoalannya. Jadi sampai hari ini ada legalitas yang lemah sebetulnya," ungkap Ahmad.
Karena itu, Komnas HAM berharap ke depan pemerintah melakukan pembenahan regulasi untuk penanganan Covid-19 yang belum diketahui kapan ujungnya. Masalah Covid-19, Ahmad menekankan, masih panjang dan kompleks. Semua dimensi akan terdampak oleh virus tersebut.
"Covid-19 yang berdampak pada banyak dimensi itu semestinya membutuhkan sebuah regulasi yang lebih jelas dan tentu saja tata kelola (yang baik)," katanya.