Rabu 29 Jul 2020 00:25 WIB

Legislator: Politik Dinasti Buruk Buat Demokrasi

Perlu ada koreksi di RUU Pilkada yang akan datang menyangkut dinasti politik ini.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus Yulianto
Mardani Ali Sera
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Mardani Ali Sera

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera memandang, bahwa politik dinasti buruk bagi sistem demokrasi di Indonesia. Kata dia, ada dua jenis dinasti politik yang berjalan di Tanah Air. Pertama, jenis dinasti politik yang bekerja dari bawah sebagaimana yang terjadi di Amerika.

"Kalau skala di Amerika khususnya polanya mentorship. Jadi memang mereka dari bawah. Bush Senior, George Bush Junior, masing-masing bekerja dari bawah, sehingga bapaknya mementor anaknya, mengikuti career path yang baik," kata Mardani dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selasa (28/7).

Dia pun mencontohkan bagaimana jenjang karir Ketua DPR Puan Maharani merupakan contoh yang bekerja dari bawah. "Saya agak puji Mbak Puan, sebelum ketua DPR kan ketua pemenangan Bappilu, kemudian maju DPR kemudian maju Menko (perekonomian) kemudian career path-nya ada," ujarnya.

Sementara pola kedua yang menurutnya berbahaya yaitu dinasti politik yang prosesnya instan. Seseorang tiba-tiba dicalonkan untuk mengikuti proses pilkada. Oleh karena itu, dia menilai, perlu ada koreksi di RUU Pilkada yang akan datang.

"Agar kita bisa memastikan quality control siapapun yang terpilih sedang mengikuti carreer path yang baik, sudah menikmati proses contohnya, minimal dua tahun keanggotaan di parpol. Kecuali kalau mau maju independen, monggo. Kalau belum dua tahun ya gagal. Nah dua tahun itu waktu yang cukup pandangan saya," tuturnya.

Sementara itu anggota komiisi II DPR lainnya Zulfikar Arse Sadikin memiliki pandangan yang berbeda terkait hal tersebut. Dia mengatakan, di dalam undang-undang Dasar 1945 Bab 10 Pasal 27 berbunyi 'segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya'.

"Jadi segala, diksi yang dipakai segala bukan setiap. Kalau segala berarti dari bakcground apa pun yang penting dia warga negara," ungkapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement