
Oleh : Hasanuddin Ali, CEO Alvara Research Center
Oleh: Hasanuddin Ali, CEO Alvara Research Center
Survei nasional yang dilakukan Alvara Research Center pada akhir tahun 2024 menemukan gambaran tentang tipologi utama masyarakat Indonesia. Segmentasi ini merupakan adaptasi dari teori kepribadian dan pendekatan psikografis gaya hidup (AIO/VALS) dengan menggunakan tujuh indikator utama. Temuan riset ini tidak hanya memotret perilaku, tapi juga mengupas nilai dan orientasi hidup anak muda masa kini.
Tiga tipologi karakter publik indonesia dari temuan riset Alvara tersebut adalah pertama, The Social Butterfly atau “Si Paling Eksis” (16,0%). Kedua, The Digital Junkie atau “Si Digital Banget” (39,7%). Ketiga, The Chillaxer atau “Si Santuy Abis” sebagai kelompok terbesar (44,3%)
Tipologi pertama adalah mereka yang dijuluki “Si Paling Eksis”—generasi yang aktif, senang tampil, suka memimpin, sangat peduli tanggung jawab, dan mampu membangun jejaring sosial luas. Segmen kedua adalah “Si Digital Banget” —anak muda yang sangat nyaman dengan teknologi, mengutamakan karir, senang mencari peluang, dan selalu terhubung dengan dunia maya. Segmen ketiga adalah “Si Santuy Abis” —kelompok yang lebih suka hidup tenang, anti-drama, tidak terlalu tertarik pada eksistensi sosial atau pencapaian materi, dan sangat menjaga keseimbangan hidup.
Jika dibedah berdasarkan generasi terlihat bahwa di kelompok Gen Z dan Millennial lebih condong ke tipologi ”Si Paling Eksis” dan ”Si Digital Banget”. Sementara pada Gen X, proporsi ”Si Digital Banget” mulai menurun, sedangkan ”Si Santuy Abis” sedikit bertambah. Ini memberi gambaran bahwa generasi lebih tua lebih ”slow” dalam menikmati hidup, sementara generasi muda lebih atraktif dan adaptif.
Lebih menarik lagi, persebaran berdasarkan kelas sosial ekonomi menunjukkan bahwa karakter ”Si Paling Eksis” lebih banyak ditemukan di kelas ekonomi menengah ke atas. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara kemapanan sosial ekonomi dengan munculnya karakter sosial-aktif yang inovatif dan berani tampil. Sementara ”Si Digital Banget” dan ”Si Santuy Banget” semakin mendominasi di kelas menengah dan menengah ke bawah
Secara tidak langsung dominasi ”Si Santuy Banget” ini secara umum menunjukkan bahwa budaya “santai”, mengutamakan keharmonisan, dan anti-konflik memang masih menjadi ciri khas kuat masyakat Indonesia. Di sisi lain, keberadaan ”Si Digital Banget” yang besar bisa menjadi modal sosial sebagai ”mesin pembangunan” di berbagai sektor. ”Si Paling Eksis”, meski porsinya kecil, memegang peran penting sebagai agen perubahan dan inovator sosial, terutama di kelas menengah atas yang punya akses lebih pada pendidikan dan jejaring.
Tak Sekadar Label
Bila kita bedah lebih dalam, tipologi “Si Paling Eksis” bukan hanya kumpulan anak muda yang senang tampil atau jadi pusat perhatian. Mereka adalah energi sosial yang nyata—penggerak komunitas, pembawa perubahan, penghubung antarjaringan sosial. Mereka selalu siap ambil peran dalam kegiatan bersama, menjadi pemimpin di lingkungannya, dan cenderung setia pada komitmen. Mereka sering dijadikan role model oleh teman-temannya karena kemampuan adaptasi dan kepercayaan diri yang kuat.
Lain halnya dengan “Si Digital Banget”. Ini adalah segmen yang benar-benar menjadi simbol generasi Z dan milenial urban: mengutamakan pengembangan diri dan karir, adaptif terhadap teknologi baru, haus informasi, dan selalu mencari efisiensi dalam hidup. Mereka lebih memilih aktivitas online daripada interaksi tatap muka yang tidak produktif. Mereka bisa bekerja dari mana saja, belajar sendiri lewat internet, dan membangun karir di dunia digital.
Sementara itu, “Si Santuy Abis” seringkali dinilai kurang ambisius, padahal segmen ini sangat berharga. Mereka justru menawarkan alternatif pandangan: bahwa hidup tidak harus penuh persaingan atau adu gengsi. Mereka mengutamakan kenyamanan, keharmonisan relasi, dan kebahagiaan personal. Mereka lebih menikmati waktu dengan keluarga, menghindari tekanan sosial, dan lebih mengapresiasi kebahagiaan sederhana. Dalam dinamika sosial, kelompok ini berperan sebagai “stabilizer”, mendinginkan suasana dan meminimalisir konflik.
Dinamika Sosial dan Tantangan Kontemporer
Apa yang bisa kita petik dari potret tipologi ini? Pertama, anak muda Indonesia tidak bisa diseragamkan. Jika sebelumnya kebijakan publik, program pendidikan, atau pemasaran cenderung menggeneralisasi anak muda sebagai satu kelompok besar, kini pendekatan itu sudah tidak relevan. Anak muda hari ini hidup di realitas yang sangat kompleks: di satu sisi terhubung ke seluruh dunia lewat teknologi, di sisi lain tetap dipengaruhi nilai tradisi dan ekspektasi sosial.
“Si Paling Eksis” misalnya, lebih mudah beradaptasi dalam lingkungan sosial yang cair, mampu menjadi katalisator perubahan di lingkungannya, dan sangat potensial menjadi pemimpin masa depan. Namun, mereka juga rentan terhadap tekanan sosial dan tuntutan lingkungan yang kadang terlalu tinggi. Bila tidak didukung ekosistem yang sehat, potensi mereka bisa tersia-siakan.
Di sisi lain, “Si Digital Banget” membawa perubahan cara kerja, belajar, dan berkarya. Mereka siap menantang status quo, mendobrak batasan, dan menuntut sistem yang lebih fleksibel dan meritokratis. Namun, mereka juga rawan terjebak dalam tekanan produktivitas, kehilangan koneksi sosial, dan menghadapi isu kesehatan mental.
Sedangkan “Si Santuy Abis” menunjukkan bahwa tidak semua anak muda ingin terlibat dalam pusaran perubahan. Ada yang memilih jalur tenang, menikmati hidup, dan tetap menjadi penopang nilai-nilai kemanusiaan di tengah arus digitalisasi dan urbanisasi. Jika diabaikan, kelompok ini bisa makin termarjinalisasi, atau justru kehilangan motivasi untuk berkontribusi pada masyarakat.
Insight untuk Para Pengambil Keputusan
Bagi para pengambil keputusan —baik di institusi pemerintahan, perusahaan, komunitas, media, atau organisasi sosial— memahami segmentasi ini adalah kunci keberhasilan dalam menciptakan kebijakan, program, maupun inovasi yang relevan. Pertama, insight utama dari data ini adalah perlunya pendekatan yang lebih personal, kontekstual, dan inklusif dalam merancang setiap intervensi.
Pendekatan “one size fits all” tidak lagi memadai. Misalnya, program kepemimpinan dan pemberdayaan anak muda perlu memberi ruang bagi “Si Paling Eksis” untuk berkreasi dan memimpin, tapi juga harus menyediakan jalur partisipasi alternatif bagi “Si Digital Banget” yang lebih suka bekerja secara mandiri atau jarak jauh. Untuk “Si Santuy Abis”, aktivitas yang menekankan kebersamaan tanpa tekanan target, serta ruang bagi ekspresi diri tanpa kompetisi, akan jauh lebih efektif.
Kedua, perubahan perilaku anak muda dalam mengakses informasi dan membangun relasi sangat dipengaruhi oleh teknologi. Para pengambil keputusan harus peka terhadap kanal dan platform yang digunakan tiap segmen. “Si Digital Banget” misalnya, lebih mudah disentuh melalui kampanye digital dan pendekatan visual interaktif. Sementara “Si Santuy Abis” cenderung merespons komunikasi yang hangat, personal, dan tidak formal.
Ketiga, temuan ini memperlihatkan perlunya memperkuat literasi baru —tidak hanya literasi digital, tapi juga literasi sosial dan emosional. Dengan ketiga segmen yang sangat berbeda orientasi, rentan terjadi miskomunikasi, polarisasi, bahkan konflik kepentingan. Pengambil keputusan perlu mendorong terciptanya ruang dialog lintas segmen, agar setiap anak muda merasa didengar, dihargai, dan mampu berkolaborasi lintas karakter.
Tipologi ini sejatinya bisa menjadi cermin perubahan sosial yang sedang terjadi di Indonesia. Para pengambil keputusan ditantang untuk tidak hanya merespons, tetapi juga memfasilitasi, menguatkan, dan merangkul tiap segmen yang ada.
Akhirnya, sekali lagi, pemahaman terhadap tipologi ini bukan soal memilih segmen mana yang terbesar saja, tapi bagaimana membangun ekosistem yang memberi ruang bagi semua. Dengan begitu, setiap orang —apapun tipologinya— bisa tumbuh optimal dan memberi kontribusi terbaik untuk komunitas, organisasi, dan bangsanya. Para pengambil keputusan di segala level untuk mengubah paradigma: dari “mengelola” anak muda, menjadi “berkolaborasi” dan “berjalan bersama”.