REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel) masih melakukan upaya penanganan darurat banjir bandang di wilayah tersebut. Pascabanjir, bupati setempat menetapkan status tanggap darurat selama 30 hari.
"Status tanggap darurat berlaku selama 30 hari yaitu terhitung dari 14 Juli hingga 12 Agustus 2020," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (17/7).
Ia menambahkan, BPBD dan instansi terkait lain terus melakukan upaya penanganan darurat, seperti penanganan para penyintas dan pendataan di lapangan. Pemerintah daerah setempat mengaktifkan pos komando yang berada di Kantor BPBD Kabupaten Luwu Utara. Salah satu operasi darurat yang menjadi prioritas yakni pencarian dan evakuasi korban yang masih hilang.
"Kebutuhan mendesak yang diperlukan untuk pemenuhan dasar para penyintas antara lain suplai air bersih, obat-obatan, kebutuhan balita (susu dan popok), popok lansia, pakaian dalam wanita, selimut dan sarung serta peralatan pembersih rumah," ujarnya.
Sebelumnya pihaknya mendapatkan informasi mengenai padamnya listrik. Infrastruktur ini telah kembali normal. Namun, beberapa titik masih terjadi pemadaman. Fasilitas air dari PDAM setempat masih belum dapat beroperasi. "Tim Reaksi Cepat (TRC) BNPB melaporkan per Kamis (16/7), 15 orang masih dalam pencarian, sedangkan korban meninggal berjumlah 30 orang," katanya.
Sebanyak 539 personel gabungan SAR mencari dan mengevakuasi warga yang hanyut akibat derasnya banjir. Kejadian ini mengakibatkan puluhan orang dirawat di sejumlah rumah sakit dan puskesmas. Lebih dari 3.500 keluarga mengungsi. Ada 3.627 KK atau 14.483 jiwa mengungsi di tiga kecamatan. Mereka tersebar di pengungsian di Kecamatan Sabbang, Baebunta, dan Massamba.
Sementara itu, kerugian material sementara tercatat 10 unit rumah hanyut dan 213 lain tertimbun pasir yang bercampur lumpur. Sedangkan infrastruktur publik, satu kantor koramil terendam air dan lumpur setinggi 1 meter. Selain itu, jembatan antar desa terputus dan jalan lintas provinsi tertimbun lumpur antara 1 hingga 4 meter.
Hingga kini, beberapa akses jalan putus karena terendam lumpur tebal, sedangkan lahan pertanian yang rusak masih dalam proses pendataan. Alat berat telah diturunkan untuk pembersihan material lumpur di jalan trans Sulawesi Selatan-Sulawesi Tengah.
Banjir bandang yang terjadi pada Senin lalu (13/7) berdampak di enam kecamatan yaitu Kecamatan Masamba, Sabbang, Baebunta, Baebunta Selatan, Malangke dan Malangke Barat. Ia mengutip analisis sementara Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat dua faktor penyebab banjir bandang Luwu Utara, yakni alam dan manusia.
Curah hujan dengan intensitas tinggi di daerah aliran sungai (DAS) Balease menjadi salah satu pemicu banjir bandang tersebut. Termonitor curah hujan lebih dari 100 mm per hari serta kemiringan lereng di bagian hulu DAS Balease sangat curam. Desa Balebo yang dilewati DAS ini berada pada kemiringan lebih dari 45 persen.
Selain faktor cuaca, kondisi tanah berkontribusi terhadap terjadinya luncuran material air dan lumpur. Sedangkan faktor manusia, terpantau di lokasi adanya pembukaan lahan di daerah hulu DAS Balease dan penggunaan lahan massif perkebunan kelapa sawit. Terkait dengan pembukaan lahan ini, salah satu rekomendasi dari KLHK yakni pemulihan lahan terbuka di daerah hulu.