REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR--Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) telah melakukan kajian tentang daerah Masamba dan sekitarnya di Luwu Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel). Hasilnya, mereka menyimpulkan daerah yang berpotensi bencana itu, akibat pembentukannya dari erosi dan sedimentasi sekitar ribuan tahun.
Kepala Pusat Studi Kebencanaan Unhas dan Pakar Petrologi dan Geologi Prof Dr Eng Adi Maulana ST MPhil, mengatakan potensi bencana banjir di seluruh daerah di Sulsel sejak 2019 sudah ditunjukkan pada Journal of Physic. Salah satu daerah yang berpotensi banjir dengan tingkat risiko tinggi adalah daerah Luwu Utara, khususnya daerah Masamba dan sekitarnya.
Daerah Masamba dan sekitarnya merupakan daerah pedataran yang sangat luas, terbentuk dari proses erosi dan sedimentasi selama ribuan, bahkan jutaan tahun. Menempati luas areal sekitar 50 km x 30 km, pedataran ini disusun oleh material alluvial, dengan sumber dari batuan berupa material-material yang berasal dari pegunungan di bagian utara, timur dan baratnya.
Sedangkan di bagian utara dan baratnya, lanjut Adi, terdapat pegunungan yang disusun oleh Formasi Kambuno, berupa batuan dengan komposisi granitik sampai dengan dioritik. Sementara pada bagian timurnya disusun oleh pegunungan dengan komposisi batuan metamorfik dari Kompleks Pompangeo.
Menurut dia, kondisi morfologi daerah ini bagaikan cekungan kecil yang diapit oleh pegunungan di bagian utara, timur dan barat, dan dibatasi oleh Teluk Bone di bagian selatannya. Terdapat setidaknya 3 sungai besar dan beberapa sungai kecil yang mengalir memotong daerah pedataran luas ini dari utara ke selatan. Sungai-sungai ini terbentuk oleh akibat patahan-patahan atau sesar sekitar Pliosen atau 2 juta tahun yang lalu.
Patahan-patahan ini terjadi akibat proses tektonik pembentukan Pulau Sulawesi. Sejalan dengan waktu, patahan-patahan tersebut membentuk aliran sungai. Pada daerah hulu, proses pelapukan sangat intens terjadi, dibuktikan dengan tebalnya soil atau tanah tutupan yang mencapai 5-7 meter.
"Hasil penelitian yang dilakukan oleh Unhas menemukan ketebalan soil bisa mencapai 8 meter di titik tertentu. Banyaknya aktivitas pembukaan lahan-lahan untuk perkebunan dan permukiman yang tidak terkontrol di wilayah pegunungan atau hulu sungai menyebabkan terjadi proses erosi yang sangat signifikan," ujar Adi.
Akibatnya, lanjut dia, terjadi proses sedimentasi pada sungai yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan kondisi sungai secara umum terganggu. Pembukaan lahan menyebabkan tanah menjadi rentan terhadap erosi permukaan, dan menyebabkan berkurangnya vegetasi. Akibatnya tanah di bagian hulu menjadi jenuh dan tidak mampu lagi untuk menyerap air hujan dengan baik (presipitasi menjadi semakin berkurang).
Terbukanya lahan juga menyebabkan proses erosi semakin tinggi dan menghasilkan tumpukan material sedimen yang semakin besar mengisi saluran sungai dan terendapkan pada dasar sungai, menjadikan kapasitas atau volume sungai menjadi berkurang atau terjadi pendangkalan.
"Kondisi ini menyebabkan ketika terjadi hujan deras dalam waktu yang singkat, maka banjir akan terjadi. Banjir terjadi dengan cepat atau yang sering disebut dengan banjir bandang," katanya pula.
Berkaitan dengan hal tersebut, penanganan banjir di daerah ini memerlukan sinergi dari semua stakeholder, terutama dinas teknis terkait. Adi menegaskan, tanpa adanya sinergi, akan sangat sulit mengatasi banjir yang ke depannya akan semakin sering terjadi.
Ia menyatakan, semakin ekstremnya curah hujan akibat perubahan musim global, ditambah dengan alih fungsi lahan yang semakin tidak terkontrol mengakibatkan kejadian banjir bandang akan terus bisa terjadi semakin sering dengan intensitas makin besar.
"Kerja keras dan kerja cerdas semua pihak tanpa ada yang saling menyalahkan. Semua pihak, baik provinsi maupun kabupaten yang didukung oleh pemerintah pusat didukung oleh masyarakat, diharapkan dapat saling bekerjasama untuk mengatasi bencana ini. Jika tidak, maka kejadian akan terus berulang," kata Adi Maulana lagi.