Selasa 23 Jun 2020 13:25 WIB

Antisipasi Karhutla, Hujan Buatan Diperbanyak Jelang Kemarau

Hujan buatan akan diperbanyak hingga Juli mendatang.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) tiba untuk memimpin rapat terbatas secara tatap muka di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (23/6/2020). Rapat itu membahas antisipasi kebakaran hutan dan lahan. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan-POOL/foc.
Foto: SIGID KURNIAWAN/ANTARA FOTO
Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) tiba untuk memimpin rapat terbatas secara tatap muka di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (23/6/2020). Rapat itu membahas antisipasi kebakaran hutan dan lahan. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan-POOL/foc.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Linkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), TNI AU akan menambah frekuensi rekayasa hari hujan melalui teknologi modifikasi cuaca.

Langkah itu sudah dilakukan sejak Mei lalu dan akan diperbanyak hingga Juli mendatang, sejalan dengan masuknya musim kemarau di sejumlah daerah. Risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla) semakin tinggi pada puncak musim kemarau nanti.

Baca Juga

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menjelaskan, ledakan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) biasanya terjadi pada pekan kedua Agustus sampai pekan pertama September setiap tahunnya. Wilayah yang paling rawan di antaranya adalah Sumatra bagian utara meliputi Riau, Sumatra Utara, dan Aceh.

Kemarau di wilayah itu pun terjadi dalam dua gelombang. Fase pertama, kemarau mulai masuk April lalu. Pada fase ini, pemerintah sudah melakukan modifikasi cuaca hingga 31 Mei 2020 lalu. Hasilnya, wilayah Sumatra masih terpantau kondusif dari kebakaran hutan dan lahan. Belajar dari fase pertama ini, pemerintah akan memperluas modifikasi cuaca hingga fase kedua kemarau di Sumatra dan Kalimantan.

Fase kedua sendiri akan dimulai pada Juni-Juli ini, dengan puncak kemarau pada akhir Agustus sampai awal September 2020. Kemarau pada fase kedua inilah yang memang menjadi puncak kejadian karhutla di tahun 2019 dan 2015 lalu.

"Maka kita melakukan rekayasa hari hujan. Jadi kita bisa dengan teknologi modifikasi cuaca atas analisis BMKG dan dilaksanakan oleh BPPT didukung oleh pesawatnya TNI AU karena kita belum punya pesawat sendiri," ujar Siti usai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Selasa (23/6).

Siti menjelaskan, modifikasi cuaca dilakukan dengan menginduksi awan sehingga tercipta lebih banyak uap air dan akhirnya turun hujan. Hujan yang tercipta inilah yang kemudian membasahi lahan gambut. Selama ini, lahan gambut inilah yang paling banyak menyebabkan asap pekat selama kejadian karhutla.

"Lalu kita akan lakukan lagi di Kalimantan. Kalimantan kalau menurut BMKG itu akan kencang panas hotspotnya panasnya nanti hari keringnya masuk musim kemarau kira-kira di Juli. Nanti beratnya di Agustus akhir masuk ke September," kata Siti.

Dengan cara mitigasi yang lebih digencarkan, diharapkan bencana karhutla tidak terjadi lagi pada tahun ini. Siti menjelaskan, Presiden Jokowi berkali-kali meminta agar seluruh aparat di daerah sigap dalam penanganan karhutla. Presiden juga memerintahkan agar penegakan hukum di lapangan berjalan tegas karena penyebab kebajaran hutan didominasi oleh ulah manusia, baik disengaja atau tidak.

Pada September 2019, Presiden Jokowi mengakui bahwa pemerintah lalai dalam pencegahan karhutla. Presiden sempat menegur seluruh pimpinan instansi yang dinilai ikut bertanggung jawab dalam insiden meluasnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau.

Kendati skalanya memang tak separah kebakaran hutan dan lahan pada 2015 lalu, namun bencana karhutla pada 2019 lalu sempat menimbulkan asap yang mengganggu aktivitas masyarakat.

"Setiap tahun tidak perlu lagi rapat seperti ini. Otomatis menjelang musim kemarau itu harus sudah siap. Sebetulnya itu saja. Tapi kita lalai lagi, sehingga asapnya membesar," ujar Presiden Jokowi, September tahun lalu.

Di Jambi misalnya, pada pekan ketiga September 2019 tercatat sebanyak 700 titik panas. Sementara di Kalimantan Tengah, tercatat ada 1.127 titik panas pada pekan ketiga September 2019. Di Riau, tercatat ada 207 titik panas pada pekan ketiga September 2019.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement