Kamis 18 Jun 2020 01:30 WIB

Amnesty Kritisi Putusan PN Balikpapan untuk 7 Aktivis Papua

Tujuh aktivis Papua itu semestinya dibebaskan dari semua tuduhan makar.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Ratna Puspita
Dua jurnalis menyaksikan dari layar monitor beberapa tahanan politik Papua menjalani sidang daring beragenda pembacaan vonis atas kasus makar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (17/6/2020). PN Balikpapan menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok dan Irwanus Urobmabin serta vonis 11 bulan penjara kepada Agus Kossay, Buchtar Tabuni dan Steven Itlay karena terlibat kasus tindakan makar terkait unjuk rasa menolak rasialisme di Papua pada Agustus 2019
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Dua jurnalis menyaksikan dari layar monitor beberapa tahanan politik Papua menjalani sidang daring beragenda pembacaan vonis atas kasus makar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (17/6/2020). PN Balikpapan menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok dan Irwanus Urobmabin serta vonis 11 bulan penjara kepada Agus Kossay, Buchtar Tabuni dan Steven Itlay karena terlibat kasus tindakan makar terkait unjuk rasa menolak rasialisme di Papua pada Agustus 2019

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amnesty Internasional Indonesia mengkritisi vonis bersalah terhadap tujuh aktivis antirasialisme Papua. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), tidak semestinya memvonis bersalah tujuh aktivis tersebut. 

Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid mengatakan, tujuh aktivis tersebut justru semestinya dibebaskan dari semua tuduhan makar. “Mereka tidak melakukan tindakan kriminal apapun seperti yang dituduhkan,” kata Usman dalam keterangan pers yang diterima Republika di Jakarta, Rabu (17/6). 

Baca Juga

Usman menegaskan, meskipun pemberian hukuman tujuh aktivis itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa, putusan hakim tetap menyisakan ketidakadilan yang mendasar. Usman menjelaskan, sejatinya ketujuh aktivis tersebut, merupakan korban rasialisme. 

“Bagaimana bisa mereka dijatuhi hukuman, sementara yang mereka lakukan, dilindungi oleh hukum negara dan konstitusi,” kata Usman. 

photo
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid - (Republika/Flori Sidebang )

Menurut Usman, kasus yang menjerat tujuh aktivias ini berawal dari hak warga negara untuk menyampaikan pendapat dan aksi protes atas ketidakadilan. Tujuh aktivis tersebut ikut dalam aksi unjuk rasa di sejumlah kota di Papua pada 2019. 

Sedangkan unjuk rasa tersebut merupakan aksi protes warga di Papua terkait perilaku dan aksi rasialisme yang dialami mahasiswa-mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Semarang, dan Yogyakarta pada tahun lalu. Meski aksi itu berujung kerusuhan dan menelan korban jiwa, negara tak bisa menghukum para aktivis tersebut dengan tuduhan makar. 

“Kami (Amnesty) sangat menyayangkan putusan pengadilan ini. Walaupun putusannya jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan, tetapi saja tujuh aktivis tersebut dari awal tidak ditangkap, tidak dipenjara, dan tidak dituntut secara hukum. Mereka seharusnya dibebaskan dan seluruh tuduhannya dihapuskan,” kata Usman.

Amnesty menilai, hukuman terhadap tujuh aktivis yang menolak rasialisme merupakan kegagalan negara menghormati hak dasar warganya untuk bersuara dan menyampaikan protes. Tidak hanya itu, Usman menambahkan, hukuman merupakan kegagalan negara melindungi warga Papua, yang selama ini kerap menjadi korban diskriminasi, bahkan dituduh memberontak. 

“Negara harus menghentikan kriminalisasi terhadap orang-orang dan aktivis Papua dengan penggunaan pasal makar,” kata Usman.

PN Balikpapan, pada Rabu (17/6) memvonis bersalah tujuh aktivis Papua. Mereka antara lain Buchtar Tabuni, yang dihukum penjara 11 bulan. 

Fery Kombo dan Irwanus Uropmabin, masing-masing dipenjara 10 bulan. Sedangkan Agus Kossay, dan Stevanus Itlay dipenjara masing-masing 11 bulan. Alexander Gobay, dan Hengky Hilapok, dihukum penjara masing-masing 10 bulan. 

Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan, tujuh aktivis Papua itu bersalah melanggar Pasal 106 KUH Pidana juncto Pasal 55 ayat 1 tentang aksi makar. Hukuman tersebut, memang lebih ringan dari tuntutan Jaksa. Jaksa menuntut Majelis Hakim menghukum para aktivis itu dari lima sampai 17 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement