Jumat 12 Jun 2020 04:31 WIB
Presiden

Bung Karno Diberhentikan, Pak Harto Letakan Jabatan

Kisah nasib dua presiden yang lahir di bulan Juni

Soekarno dan Soeharto
Foto:

Pelimpahan kewenangan aneh, menimbulkan konsekuensi Presiden memiliki kewenangan ekstra konstitusi. Kewenangan yang tak terdefenisi ini, memungkinkan Presiden mengambil tindakan non hukum, non konstitusil atas nama pelaksanaan pembangunan.

Pak Harto, mirip Bung Karno menjadi sentral, melampaui hukum yang telah benar-benar terfeodalisasi. Mirip Bung Karno dalam bernegara, Pak Harto makin sulit dikritik. Kesulitan ini malah telah terlihat sedari awal pemerintahannya. Buahnya kewenangan ini berserakan pada banyak aspek. Kelompok Petisi 50, yang dikenal kritis terhadap pemerintahannya kesulitan bernapas hampir disepanjang kekuasaannya.

Pers bukan tak bisa hadir, tetapi mereka hanya perlu tahu harus memiliki kebijaksanaan. Main keras dengan berita kritis pada pemerintah, sama dengan meniup trompet untuk memanggil teguran khas pemerintahan ini.

Kemajuan signifikan dibidang pembangunan fisik, untuk beberapa aspek terlihat mengagumkan. Sama mengagumkannya dengan praktik korupsi, pengutamaan kelompok tertentu dalam rasa kolusi yang yang nyata. Kerena kedalamannya, korupsi, kolui dan nepotisme dijadikan platform perlawanan terhadap Pak Harto.

Tetapi Islam, dengan semua alasan pemerintah, tak dibiarkan berkibar sebagaimana layaknya. Menariknya, diujung kekuasaannya, Pak Harto tampil begitu mengagumkan untuk Ummat Islam. Ratusan ribu Masjid untuk Ummat Islam diseluruh repubik ini dibangun. Organisasi intelektual Ummat Islam dimungkinkan pendiriannya.

Selalu seperti biasanya pada semua pemerintahan yang teridentifikasi tidak adil, kehebatannya tidak menggambarkan fundamental kehebatan negara itu. Level kesadaran akan keadilan yang terus bergerak naik. Itu menjadi sebab terus naiknya tuntutan keadilan kepada pemerintah. Tetapi seperti biasa, pemerintah selalu sulit menemukan jawabannya. 

Kesadaran keadilan yang terus bergerak akan berubah menjadi bola panas yang membakar, bila pada saat yang sama muncul satu keadaan luar biasa. Ketika krisis keuangan datang tahun 1997, datang pulalah malapetaka untuk kekuasaan yang hebat itu. Marah, marah dan marah,  itulah rakyat ditengah krisis itu. Pemerintah Pak Harto pun dianggap tak lagi kredibel.

Sejarah kembali menemukan pijakan dalam politik dan tata negara Indonesia untuk bicara dengan bahasa khasnya. Pak Harto menuai diprotes dengan cara yang tak terbayangkan. Ada hujatan, cacian dan sejenisnya, persis yang dialami Bung Karno 32 tahun sebelumnya.

Pak Harto, mirip Bung Karno pun dipaksa secara terbuka, dengan sangat demonstratis oleh rakyat untuk berhenti. Kebesarannya tak lagi bisa bicara, mnolongnya, melembutkan hasrat perubahan yang terus memuncak. Semuanya memudar.

Pak Harto, akhirnya  berhenti. Berbeda dengan Bung Karno, Pak Harto memilih meletakan jabatan. Cara itu menghindarkan Pak Harto dari persidangan MPR, sebagaimana MPRS menyidangkan dan memberhentikan Bung Karno.

Tetapi apapun itu, keduanya presiden ini, dengan semua kelebihan dan kekurangannya secara politik, telah menjadi jembatan untuk bangsa besar ini bergerak ke depan. Begitulah hidup. **

Jakarta, 10 Juni 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement