Jumat 12 Jun 2020 04:31 WIB
Presiden

Bung Karno Diberhentikan, Pak Harto Letakan Jabatan

Kisah nasib dua presiden yang lahir di bulan Juni

Soekarno dan Soeharto
Foto:

Tanggal 16 Oktober 1945, ketika Bung Karno sedang tidak berada di Jakarta, keluarlah maklumat pemerintah. Maklumat ini ditandatangani oleh Moh Hatta, Wakilnya. Maklumat ini dikenal dengan sebutan Maklumat X. Esensi maklumat ini mengubah sistem pemerintahan presidensial ke parlementer.

Hebat Bung Karno. Dikenal sedari muda sebagai sosok yang gigih mengelorakan Indonesia merdeka, dan sekarang kesempatan besar untuk merealisasikan gagasan-gagasannya telah ada dalam genggamannya, tetapi ia lepaskan. Sukarela Bung Karno melepaskan, hanya dengan satu coretan pena kecil dari Moh Hatta, Wakilnya. 

Tanggal 14 November Maklumat itu bekerja efektif. Pada hari itu dibentuk formatur kabinet. Sjahrir sebagai ketua formaturnya. Sjahrir berhasil membentuk kabinetnya, dan pada tanggal 23 November 1945 dilantik, bukan oleh Bung Karno, tetapi oleh Bung Hatta. Kekuasaan eksekutif pun resmi beralih dari Bung Karno ke Sjahrir.

Hilangkah kesempatan Bung Karno top untuk menggenggam kembali kekuasaan eksekutif? Tidak . Berkali-kali kesempatan itu datang, tetapi sebanyak kesempatan itu datang, sebanyak itu pula Bung Karno melepaskannya.

Oposisi keras kelompok Persatuan Perjuangan (PP) terhadap kebinet pertama Sjahrir, mengakibatkan Sjahrir meletakan jabatan. Program labinet Sjahrir dianilai tidak mempercepat apa yang mereka sebut merdeka 100%. Apa yang dilakukan Bung Karno? Sjahrir dimandatkan membentuk kabinet untuk kedua kalinya. Terbentuklah kabinet Sjahri II dan diresmikan tanggal 13 Maret 1946. 

Persis kabinet pertama, kabinet kedua ini singkat usianya. Opisisi PP tidak surut. Mei 1946 dalam perjalanan pulang dari Solo, Sjahrir diculik atas persetujuan diam-diam Mayor Jenderal Soerdarsono. Pada saat sama Tan Malaka malah dibebaskan oleh Soedarsono.

Sjahrir akhirnya dibebaskan, bukan atas tekanan, tetapi permintaan Bung Karno. Akibat yang pasti untuk Sjahrir telah menanti. Kabinetnya bubar Juni 1946. Bubarnya kabinet ini mendorong Bung Karno menerbitkan Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946.

Maklumat Presiden ini berisi, secara garis besar, kekuasaan pemerintahan negara untuk sementara berada sepenuhnya ditangan Bung Karno, ya kabinet presidensial. Bung Karno, berdasarkan penilaian BP KNIP didesak secara resmi oleh BP KNIP mengambil lalih kekuasaan membentuk kabinet presidensial.

Bagi BP KNIP, tindakan penculikan dan nanti diikuti peristiwa tanggal 3 Juli 1946, yang dilakukan kelompok  PP, dinilai sebagai kudeta terhadap pemerintahan. Apalagi PP juga hendak menangkap Menteri Pertahanan, Amir Sjarioeddin.   

Merdeka lebih utama daripada hal lain,  apapun itu. Itu sikap BP KNIP. Sikap itu membawa BP KNIP secara resmi mendesak Bung Karno mengambli alih kekuasaan. BP KNIP jelas ingin meletakan kembali kekuasaan pada Bung Karno. Ini  dianggap lebih bijak untuk keselamatan negara.

Hebat Bung Karno, daiam periode Juni hingga Otober 1946 kekuasaan pemerintaha berada di tangannya, tetapi ia tak mempermanenkannya. Tanggal 14 Agustus Bung Karno resmi menugaskan Sjahrir membentuk kabinet lagi. Dan Sjahrir dapat menyelesaikannya pada bulan oktober 1946. Kabinet bentukannya diresmikan oleh Bung Karno pada tanggal 5 Oktober 1946. Dikenal dengan kabinet Sjahrir III.

Bekerja lebih dari 8 bulan, kabinet Sjahrir segera kehilangan kepercayaan, terutama  BP KNIP. Koessi yang diberikan  kepada Belanda, diangap membahayakan eksistensi wilayah kesatuan republic Indonesia. Memungkinkan Belanda membentuk Kepolisian di Indoneaia, memungkinkan Belanda mempertahankan ikta khusus Indonesia Belanda, dan lainya, dinilai membahayakan.

Kehilangan kepercayaan dari BP KNIP sama dengan Sjahrir telah habis. Dan benar, Sjahrir meletakan jabatan. Bersamaan dengan itu, pada tanggal uni 1946,  untuk kedua kali Bung Karno memegang kekuasaan eksekutif. Hebat, Bung Karno malah menerbitkan Maklumat Presiden Nomor 6 Tahun 1947. Dan pada tanggal 30 Juni 1947  menugaskan Amir Sjarifoeddin membentuk kabinet.

Amir Sjarifoeddin berhasil membentuk kabinet dan dilantik pada tanggal 3 juli 1947 oleh Bung Karno. Kebinet ini segera menangani Perundingan Renvile antara Indoneasia-Belanda. Perjanjian ini ditengahi Komisi Tiga Negara, KTN.

Lebih buruk dari Sjahrir, Kabinet Amir, dalam perjanjian itu menerima pembentukan Republik Indonesia Serikat. Juga pengakuan Belanda tetap berdaulat atas selruuh wilayah Republik Indonesia sebelum RIS dibentuk. Republik Indoneaia menjadi bagian dari RIS. Uni Indonesia-Belanda akan dibentuk dengan dikepalai oleh Raja atau ratu Belanda.

Tidak itu saja butir-buir perjanjian yang telah disepakati. Akan diadakan plebisit untuk menentukan kedudukan politik rakyat Indonesia dalam RIS serta pemilu untuk membentuk Dewan Konstitusi RIS. Pengakuan daerah demarkasi oleh laskar dan Tentara Indonesia, dan beberapa lagi, semuanya dinilai merugikan Indonesia.

Harga politik untuk Amir dengan perjanjian itu, jelas mahal. Dia kehilangan kepercayaan. Tidak hanya BP KNIP, tetapi PNIN dan Masyumi dua kaki politik di kabinetnya juga mengeritiknya. Amir akhirnya meletakan jabata. Dia mengembalikan mandat pada Bung Karno.

Bung Hatta, arsitek Maklumat X ditunjuk Bung Karno membentuk Kabinet pada tanggal 27 Januari 1948. Tiga hari kemudian, tepatnya tanggal 30 Januari 1948 Kabinet Hatta diresmikan oleh Bung Karno. Tetapi tidak mudah bagi Hatta melaksanakan pemerintahan. 

Bukan hanya Amir Sjarifoeddin, tetapi Muso yang baru kembali dari Moskow, segera membentuk Fron Demokrasi Rakyat (FDR). Mereka bekerja bekerjasama dengan PKI dibawah pimpinan Muso, dan beroposisi pada  kabinet Hatta. Pada saat yang sama muncul gerap sayap kanan, namanya Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dan Barisan Banteng. Kedua organisasi ini terhubung dengan Jenderal Soedriman.

GRR segera berhadapan dengan FDR yang komunis, dan menurut Deliar Noer pertentangan keduanya memuncak menjadi pertempuran pada tanggal 13 September 1948 di Solo. Terjadi penculikan dan pembunuhan beberapa anggota GRR dan anggota TNI. Peristiwab ini direspon Pak Jenderal Soedirman. Jendral top inipun mengirimkan pasukan menghentikannya.

Menurut Deliar Noper, terdesak di Solo, FDR yang komunis itu mengalihkan gerakannya ke Madiun. Disanalah terjadi pemberontakan, yang kelak dikenal dengan pemberontakan Madiun tanggal 18 September 1948. Harus diakui, sampai titik itu tak ada satu manusia, termasuk Pak Harto, yang dapat  menandingi kehebatan Bung Karno.    

Pemberotakan itu mengakibatkan pemerintah dan rakyat, bahkan negara berada  ditengah persimpangan. Dan Bung Karno dengan lantang memberikan dua pilihan. Ikut Bung Karno dan Hatta atau Muso dan kawan-kawan? Bukan Muso, tetapi Bung Karno dan Bung Hatta yang dipilih orang. Itulah hebatnya Bung Karno.  

Tujuh pulu lima hari, setelah tanggal 18 September –tanggal PKI memberontak di Madiun- Belanda melancarkan perang terhadap Indonesia untuk kedua kalinya. Mempertimbangkan semua aspek hukum tata negara, tentu berkat van Mook dan Logeman, serangan bersenjata itu tidak disebut perang, tetapi aksi polisionil. Perang yang dilancarkan Belanda itu terjadi tepat pada tanggal 15 Desember 1948.

Apakah perang merupajkan realisasi hasrat mereka untuk tetap membelah Indonesia jadi Federal, Bung Karno, Haji Agus Salim, Bung Hatta dan Sjahrir ditawan. Mereka dibawa secara terpisah. Beberapa ke Brastagi dekat Danau Toba dan beberapa  dibawa ke  Bangka.   

Perang selalu harus didasarkan pada perhitungan detail. Ternyata ada yang tak terpotret. Perang itu, kelak memberikan kredit tak tertandingi kepada Pak Harto. Mengapa? Pak Harto memimpin pasukan melakukan  serangan balasan. Ini dikenal dengan nama  Serangan Umum 1 Maret 1949.

Serangan umum memiliki makna hebat, militer maupun politik. Serangan Pak Harto membuat panggung diplomasi tak bisa menghapus Indonesia sebagai negara merdeka. Klaim Belanda bahwa republik hasil proklamasi telah bubar, terbantahkan dengan serangan ini.

Segera menjulangkah Pak Harto dalam dunia politik yang rumit? Tidak. Sementara Bung Karno tetap muncul, bahkan menjadi episentrum politik. Kekuasaan yang telah dikuasakan kepada Pak Sjafruddin Prasiranegara, diserahkan kembali kepadanya Bung Karno segera setelah beliau tiba kembali di Yogyakarta.

Walau pemimpin Indonesia itu telah kembali ke Yogyakarta, tetapi sepintas Belanda terlihat memperoleh hasil dari perang itu. Tak lebih dari sebulan setelah mereka kembali ke Yogyakarta, tepatnya tanggal 23 Agustus 1949, RI dan Belanda harus berunding.

Perundingan ini berlangsung di Belanda, dikenal dengan perundingan Meja Bundar.

Hasilnya jelas. Indonesia berubah menjadi negara Serikat. Bentuk Negara Serikat itu dituangkan dalam Konstitusi RIS 1949. Presiden tanpa kuasa, tulis John D. Lege, tentang  Bung Karno pada episode negara serikat hasil konfrensi Meja Bundar ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement