Jumat 03 Apr 2020 07:41 WIB
Presiden

Kisah Idham Khalid Calonkan Rhoma Irama Jadi Presiden

Di tahun awal 1980-an Oma Irama sempat digadang jadi presiden

Kepopuleran Rgoma Irama mencapai punca pada awal dekade 1090-an. Kala itu dia sudah digadang PPP jadi Presiden.
Foto: wikipedia
Kepopuleran Rgoma Irama mencapai punca pada awal dekade 1090-an. Kala itu dia sudah digadang PPP jadi Presiden.

REPUBIKA.CO.ID Oleh: Moh Soleh, Birokrat dan Dosen Universitas Islam Jakarta.

Rhoma Irama merupakan seorang ideolog. Begitu setidaknya saya dengar dari pengamat politik senior Fachry Ali. Saya menangkap idiom ini setidaknya karena keaktoran Rhoma Irama sebagai seniman yang sudah sangat teruji selama puluhan tahun. Melalui film, lagu dan syiar dakwahnya, Rhoma bukan saja mampu memikat penggemarnya tetapi juga membuat sebagian besar dari mereka menjadi pengikut. Setidaknya ini yang terjadi di paruh 80 an di saat sang raja aktif dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Rhoma menjadi seniman yang bergelayut massa berhadapan dengan rezim otoritarian orde baru. Melalui lagu yang berjudul "Indonesia", "Hak Asasi Manusia" dan "Pemilu" misalnya secara sangat menohok menjadi jargon politik Rhoma ketika itu. Konsolidasi massa yang begitu solid dengan bauran semangat lagu-lagu yang mengandung pesan politik dan sosial itulah "ideologi" Rhoma terbentuk.

Popularitasnya ketika itu tidak sebanding dengan siapapun. Rhoma begitu mengemuka dan menjadi  tokoh sentral "oposisi" dengan massa melimpah. Almarhum Kiai Haji Idham Cholid, tokoh senior PPP sempat mengatakan jika saja pada tahun itu Indonesia memiliki sistem pemilihan presiden bersifat langsung, Rhoma merupakan calon terkuat menjadi presiden. Sebuah analisis yang hemat saja dibumbui emosional tetapi menarik. Menarik karena popularitas dan elektabilitas Rhoma (jika disurvei seperti sekarang) sangatlah tinggi.

Rhoma salah satu seniman di dunia yang memiliki banyak talenta. Ini mungkin sudah bakat yang sudah ditakdirkan. Pesan kuat dari talenta itu adalah kemampuan diri mensinergikan jati diri sebagai seniman, politisi dan pendakwah. Persenyawaan ini yang muncul di publik. Sehingga ada ungkapan menyatakan Rhoma merupakan chemistry antara dangdut, politik dan dakwah. Gambaran ini bisa sangat terlihat dari peran-perannya di film atau melalui lagu-lagunya yang mengandung unsur dari chemistry tersebut. Ini yang bisa dikatakan Rhoma tak tertanding oleh seniman dunia manapun. Banyak penyanyi yang mengkolaborasikan pesan sosial dan politik, tetapi tidak ada unsur dakwah (dalam artian menyampaikan ayat Al Quran dan Hadits). Banyak juga penyanyi religius tetapi tidak mengumandangkan pesan politik (dalam artian tekstual dan aktual  menyangkut kebijakan).

Rhoma menaungi itu semua. Maka, dalam diri massa Rhoma Iramapun banyak yang terbawa. Menyukai lagu, dakwah dan politik. Tetapi ada juga yang menjaga jarak hanya menyukai lagu, film dan dakwahnya saja. Bahkan hanya lagu-lagu dan filmnya saja. Ini hanya persoalan selera yang bersifat individual. Dan Ini merupakan kekayaan karakteristik seniman yang fenomenal dan melegenda.

Memiliki karakteristik ini bukan tanpa resiko. Suatu waktu ketika Rhoma keluar dari PPP, dan berpindah ke Golkar, penggemar fanatiknya di Pekalongan protes keras dan sempat melakukan pembakaran ban-ban bekas. Dan ketika Rhoma terdengar menikah lagi, beberapa penggemarnya di medan sempat membuang kaset-kasetnya.

             ****

Fanatisme penggemar atas diri Rhoma inilah yang membuat seorang profesor dari Ohio University, Amerika Serikat, William Frederick,  menyebutnya sang raja dangdut bukan sekedar memiliki penggemar tetapi juga pengikut (follower). Kutipan ini kerap menjadi landasan bagi Rhoma meyakinkan dirinya maju menjadi bacapres dari PKB pada tahun 2014. Sang profesor menyebut penggemar fanatik Rhoma Irama sekitar 10 persen penduduk Indonesia. Jika dihitung secara elektabilitas politik tentu angka yang cukup fantastis. Tetapi maksud frederick ketika tentu bukan dalam konteks pengikut politik, karena Rhoma memang banyak memiliki varian, sehingga masyarakat menggemarinya.

Keberlimpahan massa yang bukan semata politik saja sudah membuat rezim orde baru waswas, apalagi ini menyangkut lagu-lagu yang bertema protes sosial. Rhoma pun relatif selalu berseberangan dengan Soeharto dan orde baru. Ia pun dicekal TVRI selama 11 tahun (1977 sd 1988). Selama dicekal, Soneta kesulitan mendapatkan izin-izin konser. Kalaupun diberikan, pengamanannya diperketat. Mediapun tidak ada yang meliput. Hanya 1-2 saja. Meskipun dicekal, Rhoma tidak terbendung, jumlah penggemar semakin banyak dan kasetnya laku keras.

Dari sini kita bisa menyaksikan, meskipun dalam tekanan dan tidak mendapat liputan media, kesohoran raja dangdut malah bertambah. Umumnya seorang bintang ketika dicekal dan tidak diliput media, namanya segera hilang dan tenggelam. Ini tidak berlaku bagi Rhoma.

Kemunculan kembali Rhoma di televisi melalui acara kamera ria justru menarik dicermati. Kita tahu acara kamera ria disponsori oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Ada apa dibalik itu sampai saat ini belum ada yang mengulas. Apakah karena Rhoma sudah tunduk dan berbaikan dengan rezim orde baru dengan deal-deal tertentu atau karena ayah raja dangdut ini seorang perwira tentara dari siliwangi. Tetapi yang pasti kemunculan tersebut bisa diduga atas "desakan" pasar. Lagu "judi" yang dinyanyikan langsung meledak. Saat Rhoma bernyanyi masyarakat langsung menyerbu televisi. Ada yang mengatakan jalan-jalan sepi. Sampai seperti itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement