Jumat 12 Jun 2020 04:31 WIB
Presiden

Bung Karno Diberhentikan, Pak Harto Letakan Jabatan

Kisah nasib dua presiden yang lahir di bulan Juni

Soekarno dan Soeharto
Foto:

Segera setelah resmi menjadi Negara Serikat tanggal 27 Desember 1949, Bung karno meningalkan Yogya. Beliau menuju Jakarta sebagai ibu kota Negara Indonesia yang baru. Persis  seperti empat tahun penuh masalah  sebelumnya, sejak  saat itu hingga sembilan tahun kemudian, tepatnya hingga tahun 1959, Bung karno benar-benar tak memegang kendali eksekutif.

Negara Serikat berusia tak lebih dari delapan bulan. Agustus 1950 RI kembali menjadi negara kesatuan. Tetapi perubahan bentuk negara ini tidak diikuti dengan perubahan sistem pemerintahan. Sistem parlementer yang keberadaannya diawali dengan Maklumat X Moh Hatta, tetap dipertahankan.

Sembilan tahun demokrasi yang Bung Karno tandai liberal, menghasilkan tak lebih dari sekadar kebebasan berbicara tanpa tandingan sejauh itu. Kabinet tak pernah stabil.  Demokrasi telah membuat kabinet tak dapat bekerja lebih lama dari setahun. Kabinet harus dan terus berganti dengan akibat terhadap pebnangunan  yang cukup jelas.

Pada tahun 1952, Bung Karno terang-terangan menolak menjadi otoriter, hanya untuk menyudahi kegaduhan politik. Beliau tidak mau memasuki gelanggang politik secara lebih nyata. Tetapi tabiat debat, gonta-ganti cabinet sejak labinet Sjahrir pertama telah cukup melekat pada Bung Karno.

Waktu terus berputar, dan saatnya akan tiba. Ketika Konstituante terus tenggelam dalam kesulitan relatif menyepakati Pancasila dan Syariat Islam sebagai dasar negara,  Bung Karno bersikap. Tidak seperti beliau bersikap atas kabinet-kabinet Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Hatta, dan lain sebelum, Bung Karno seperti tyak mau lagi membiarkan kebisaan itu berlanjut.

Keluarlah dekrit 5 Juli 1959. Dekrit ini, menariknya,  tidak hanya mengubur konstituante. Tetapi juga mengembalikan UUD 1945. Tamatlah kabinet suka debat tanpa banyak hasilnya itu. Era Bung Karno pun mulai bekerja.

Tata negara dan politik, segera setelah dekrit itu berubah total. MPR yang belum pernah dibentuk sejauh itu, segera dibentuk pada awal tahun 1960. Ketua MPR, secara ex ofico menjadi menteri. Struktur hukum juga berubah dengan dimunculkannya Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden, yang berstatus lebih tinggi dari PP.

Kebebasan berorganisasi dan berpendapat yang telah menjengkelkannya, segera mendapat perlakuan praktis yang unik. Tanggal 13 Juli 1959 segera  terbitlah Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Untuk melaksanakan Penetapan Presiden itu, diterbitrkanlah Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembuibaran Partai-Partai.   

Masyumi dan PSI, memang tak disebut pada Penetapan Presiden di atas sebagai sasaran utamanya. Tetapi mereka segera terkunci dengan dua peraturan itu. Pada tanggal 17 Agustus 1960, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 200 tahun 1960 ditujukan kepada Masyumi. Bersamaan dengan itu Masyumi juga disurati oleh Presiden dengan Surat Kabinet Presiden tanggal 17 Agustus 1960. Pada surat ini Masyumi diberi waktu selama 27 hari untuk membubarkan diri.

Praktis Masyumi terkunci. Masyumi mempertanyakan keputusan itu, disertai memorandum kepada Presdien. Tetapi terlihat putusan Masyumi harus bubar telah pasti. Surat mereka tak dijawab. Masyumi, dengan  demikian punya dua pilihan;  membubarkan diri atau dibubarkan.

Masyumi memilih membubarkan sendiri dirinya. Masyumi, yang dipuji Daniel Lev begitu akrab dengan rule of law menggugat keputusan Presiden itu. Gugatannya diajukan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta. Seperti membongkar gunung menggunakan jari-jari tangan, Pengadilan menolak gugatan Masyumi.

Moh. Rochjani Soe’oed, ketua Pengadilan yang memimpin sidang dengan dengan hakim tunggal itu menolak gugatan itu. Rochjani berpendapat, gugatan didasarkan pada kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang ketatanegaraan. Dasar ini  tidak mengenai satu hal dalam wewenang pengadilan negeri Istimewa di Jakartra. Masyumi kalah. Banding, tapi sama saja hasilnya. Masyumi tamat.

Presiden Soekarno telah menjadi sangat dominan dalam kehidupan politik. Bung Karno pun diangkat menjadi Presiden seumur hidup oleh MPRS. Pengangkatan ini dituangan dalam Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.

Berstatus Presiden seumur hidup tak membuat Bung Karno, membiarkan orang-orang seperti Sjahrir, Sjafrudin Prawiranegara, Buya Hamka, Moh Natsir, leluasa. Mereka, sekadar sebagai contoh, dipenjara tanpa persidangan pengadilan. Politik betul-betul eksplosif. Dan PKI terlihat dominan ditengah kerumitan itu, hingga meletusnya peristiwa mengerikan tanggal 30 September 1965, dikenal dengan sebutan  peristiwa G.30 S PKI.

Peristiwa itu, entah dibayangkan atau tidak oleh Bung Karno, ternyata mereduksi dan mengunci dirinya. Setelah peristiwa itu, perlahan-lahan kekuasaannya dikurangi. Situasi politik tata negara itu menjadi basis MPRS menemukan kewenangan konstitusinalnya secara independen. Satu demi satu MPR menerbitkan ketetapan MPRS, Nomor IX/MPRS/1966 Tentang Surat Perintah Presiebn/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia/Mandataris MPR.

Ketetapan  ini mengunci Bung Karno. Bung Karno tak bisa lagi menarik Surat Perintah Sebelas Maret, yang diberikan kepada Pak Harto. Disisi lain  Pak Harto semakin jelas jalannya menunju kekuasaan.

MPRS kembali mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 Tentang Kabinet Ampera. Cukup canggih politik bekerja, pada TAP ini diatur selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 1966 telah terbentuk Kabinet Amprera. Kabinet Ampera itu menggantikan Kabinet Dwikora. Pak Harto, pengemban Supersemar, dimandatkan membentuk kabinet itu.

Bung Karno kembali terkunci. Gelarnya sebagai Pimpinan Besar Revolusi, oleh MPRS melalui ketetapannya Nomor XVII/MPRS/1966 dinyatakan tidak memiliki wewenang hukum. Statusnya sebagai Presiden seumur hidup juga dicabut. Pencabutan gelar ini dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1966. Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden juga ditinjau. Ini diatur dalam TAP MPRS Nomor XIX/MPRS/1966.

Akhir sebagai presiden benar-benar tiba untuk  Bung Karno.

Sidang istimewa MPR pada Juli 1967, menolak pertanggungn jawaban BungKarno. Pidato pertanggungjawabannya tentang peristiwa G.30S PKI, ditoolak MPRS. MPR pun, karena itu mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Soekarno.

Hukum mengikuti politik. Pasal 4 pada Ketetapan diatas dengan tegas mengatur berlakunya TAP MPRS Nomor XXV. Di dalamnya juga diatur mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966 sebaai pejabat Presiden berdasarkan pasal 8 UUD 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh MPRS hasil pemilu.

Tak mungkin menyodorkan takdir sebagai faktor utamanya, nasib kedua orang yang sama-sama lahir di bulan Juni dan berbintang Gemini ini. Bung Karno berkuasa efektif tidak lebih dari lima tahun, sementara Pak Harto, dengan bintang Gemini yang sama dengan Bung Karno, efektif berkuasa selama tidak kurang dari 32 tahun.

Mirip Bung Karno pada beberapa aspek, tetapi juga berbeda dengan Bung Karno pada beberapa aspek lain, itulah pemerintahan Pak Harto. PKI yang Pak Harto sendiri tahu, pernah memberontak di Madiun, sebelum peristiwa terakhir itu, dihabisi secara konsisten.

Tetapi Masyumi yang didesak oleh pemerintah Bung Karno untuk membubarkan diri, melalui Pak Prawoto Mangkusasmito berkali-kali memohon kepada Pak Harto untuk bisa hidup lagi. Pak Harto nyata tak mengabulkan permohonan Masyumi.

Parmusi, dapat disebut reinkarnasi Masyumi yang pada Kongrsnya di Malang memilih  Moh. Roem menjadi Ketuanya, mengalami masalah. Pemeritah Orde tak cukup menyenanginya. Penyebabnya sangat sederhana, Pak Roem itu Masyumi tulen. Partai Demokrasi Islam yang diprakarsai pendiriannya oleh Bung Hatta juga tak diizinkan pendiriannya.

Hukum tata negara terlihat dikemudikan oleh  politik, dan politik dikemudikan oleh kekuatan dominan. Gelar non konstitusi yang diberi kepada Bung Karno, dan dicabut oleh MPRS tahun 1966, dihidupkan lagi dalam nama lain. Kali ini dibnerikan kepada Pak Harto. Bukan Pemimpin Besar Revolusi, tetapi  Bapak Pembangunan. Itulah gelar yang diberi oleh MPR melalui TAP MPR Nomor V/MPR/1983.

Mirip Bung Karno dengan kekuasaan yang terlihat tanpa batas, Pak Harto juga dimungkinkan mencapai kekuasaan tipikal itu. MPR melalui Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1973, Pak Harto dilimpahkan kewenangan “aneh” melaksanakan pembangunan. Tindakan pelimpahan kewenangan yang aneh ini, terus-terusan dilakukan oleh MPR hingga Pak Harto meletakan jabatan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement