REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Wahyu Suryana, Idealisa Masyrafina, Antara
Lonjakan kasus positif Covid-19 kemarin yang mencapai rekor harian karena menembus angka 1.043 membuat publik bertanya. Tepatkah upaya pemerintah yang akan segera memberlakukan tatanan new normal?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan agar keputusan untuk membuka sebuah tatanan baru masyarakat produktif yang aman dari Covid-19 harus dilakukan dilakukan secara hati-hati dan melalui tahapan yang ketat. Ia tak ingin, kebijakan yang terburu-buru justru menimbulkan kenaikan jumlah kasus baru yang menyebabkan terjadinya gelombang kedua.
“Pembukaan sebuah daerah menuju sebuah tatanan baru masyarakat yang produktif dan aman Covid, perlu saya ingatkan harus melalui tahapan-tahapan yang ketat, hati-hati. Jangan sampai ada kesalahan kita memutuskan sehingga terjadi kenaikan kasus di sebuah daerah,” ujar Jokowi saat mengunjungi kantor Gugus Tugas Nasional di BNPB, Rabu (10/6).
Pelaksanaan tatanan baru new normal pun harus dilakukan dengan hati-hati berdasarkan data dan fakta di lapangan. Menurutnya, data yang dimiliki oleh Gugus Tugas Nasional saat ini pun telah lengkap.
“Prioritas, tidak semua langsung kita buka, sektor dan aktivitas apa yang dimulai dibuka secara bertahap, itu secara bertahap tidak langsung buka 100 persen,” ujar Jokowi.
Ia mencontohkan, pembukaan kembali rumah ibadah sesuai dengan protokol kesehatan yang dinilainya berjalan baik. Kemudian sektor ekonomi yang tingkat penularannya rendah diprioritaskan untuk dibuka kembali karena memiliki dampak ekonomi yang tinggi. Terutama di sektor pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, industri manufaktur konstruksi, logistik, transportasi barang, perminyakan, dan pertambangan.
Kendati demikian, penentuan kapan new normal akan diterapkan pun harus tepat. Menurut Jokowi, keputusan penerapan new normal harus dikalkulasikan dengan baik sesuai dengan fakta dan data di lapangan.
Ia meminta agar nantinya Gugus Tugas terus memberikan peringatan kepada daerah-daerah dengan kasus tertinggi, atau daerah yang jumlah kasusnya meningkat, dan daerah yang angka kematiannya juga terus bertambah. Sehingga daerah tersebut dapat meningkatkan kewaspadaannya.
Karena itu, ia mengingatkan kepala daerah jika ingin memutuskan pelaksanaan new normal maka harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Gugus Tugas Nasional. “Datanya seperti apa, pergerakannya seperti apa, fakta-faktanya seperti apa karena saya lihat data di sini ada semua. Lihat perkembangan data epidemiologi terutama angka R0 dan Rt,” kata Jokowi.
Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Anton Agus Setyawan menilai kebijakan normal baru yang digulirkan pemerintah akan mampu memulihkan daya beli masyarakat. Pemulihan ekonomi namun diprediksi terjadi perlahan-lahan.
"Dengan adanya normal baru maka aktivitas bisnis akan pulih, karyawan mulai masuk kerja dan kembali punya penghasilan. Itu bisa memulihkan daya beli masyarakat," katanya di Solo, Rabu (10/6).
Meski demikian, ia memprediksi kenaikan daya beli tidak terjadi secara cepat tetapi bertahap. Menurut dia, pada triwulan ketiga tingkat konsumsi masyarakat masih akan negatif.
"Meski demikian, di triwulan terakhir harapannya sudah positif kembali dan ke arah pemulihan. Skenario terbaiknya Indonesia akan tumbuh sekitar 3 persen," katanya.
Secara umum, dikatakannya, penerapan normal baru di tahap pertama ini lebih bertujuan untuk pemulihan ekonomi.
"Ternyata langkah pembatasaan sosial berskala besar (PSBB), serta social dan physical distancing dampaknya sangat dirasakan oleh pengusaha. Kalau ini dilakukan terus lama-kelamaan masyarakat kelas menengah juga akan terdampak. Bahkan saat ini sudah mulai terdampak," katanya.
Menurut dia, beberapa sektor bisnis yang saat ini tumbuh negatif akibat pandemi Covid-19 di antaranya sektor jasa, pariwisata, dan perhotelan. "Bahkan di Solo sektor-sektor ini tidak ada aktivitas, dampaknya adalah banyak karyawan yang sementara ini dirumahkan dan sebagian lagi terpaksa harus di-PHK. Saat ini okupansi hotel juga masih di bawah 5 persen," katanya.
Sementara itu, untuk memastikan penerapan normal baru tidak memberikan dampak pada makin menyebarnya Covid-19, protokol kesehatan harus benar-benar diterapkan. "Ketika ada ide new normal ini yang perlu kita lihat memang aktivitas pemulihan bisnis. Beberapa mal dan perusahaan sudah menerapkan prosedur untuk kondisi ini. Pihak pengelola menerapkan SOP protokol kesehatan yang berlaku, dengan demikian proses itu akan terus berjalan," katanya.
Indonesia namun dirasa belum siap menerapkan tatanan new normal. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII), dr. Linda Rosita, menjelaskan, kebijakan new normal perlu merujuk kepada enam rekomendasi WHO. Semua orang harus memprioritaskan kesehatan dan dibutuhkan kekompakan berbagai elemen masyarakat, pemerintah dan pelayanan kesehatan
"Semua kelompok maupun elemen masyarakat harus disiplin terlebih dulu karena jika satu saja kelompok atau individu tidak disiplin, maka sama saja sulit menekan penyebaran virus ini," ujar Linda, dalam webinar berjudul Mengkritisi New Normal yang digelar DPP IKA UII.
Ia menekankan, kebijakan harus diiringi penguatan sistem kesehatan nasional, baik dari segi SDM, fasilitas lab dan perawatan. Ia berpesan pentingnya saling mengingatkan kepada orang terdekat mengutamakan upaya-upaya kesehatan, termasuk mental.
Dewan Pengawas Bank Syariah UII, Drs Syafaruddin Alwi, menuturkan ada empat dampak kesehatan ke ekonomi yang harus diperhatikan. Di antaranya kesehatan yang relatif terjamin membuat masyarakat bergairah menjalankan ekonomi
Lalu, pemerintah menjamin pergerakan barang dan jasa antar wilayah dan antar pulau tidak terganggu. Menjamin pengangguran untuk mendapat pekerjaan lagi, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional yang fokus ke ekonomi bawah.
"Agar keempat hal tersebut berjalan, kuncinya merumuskan kebijakan dengan baik. Jika terjadi musibah besar, ekonomi Islam ataupun syariah akan berperan besar, terutama di zakat ataupun sedekah," kata Syafaruddin.
Anggota Komisi VI DPR RI, Marwan Jafar menyebut, new normal ini memiliki banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Seperti ketersediaan alat-alat kesehatan, ketersediaan rumah sakit rujukan, obat-obatan dan tenaga medis.
"Namun, dalam pemerintahan tes untuk Covid-19 tidak pernah mencapai target. Perlu ditinjau ada laporan media massa yang menulis kalau alat tes sedang langka, itulah penyebab utama laporan kasus jadi melandai," ujar Marwan.
Selain itu, dana yang dialokasikan untuk pandemi ini Rp 75 triliun harus diawasi agar bersih dari kebocoran. Sayangnya, dana bansos mengalami banyak laporan kasus penyalahgunaan dana. "Terakhir update penyebaran penerima bansos baru 60 persen, ini mengindikasikan pemerintah belum siap," kata Marwan.
Integrasi antar lembaga pemerintah juga masih bermasalah, bisa dilihat dari data selalu berbeda antar lembaga. Sehingga, sulit mendapat data yang bisa dipercaya karena pemerintah sendiri belum satu pintu sebagai sumber rujukan.
Masih banyak yang sebetulnya perlu dipelajari para ahli dari virus corona jenis baru. Salah satunya tentang potensi penularan virus corona dari orang tanpa gejala.
Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Maria Van Kerkhove mengatakan bahwa sangat jarang bagi orang tanpa gejala untuk menularkan penyakit ini. Tapi dia menekankan pengamatan ini didasarkan pada serangkaian studi yang relatif kecil.
Bukti menunjukkan bahwa orang dengan gejala adalah yang paling menular, tetapi Covid-19 dapat ditularkan bahkan sebelum berkembang. Meskipun sebagian orang dinyatakan positif tanpa gejala, tidak diketahui berapa banyak dari orang-orang ini yang menginfeksi orang lain.
Dilansir dari BBC, Dr Van Kerkhove mengatakan bukti yang dia diskusikan berasal dari negara-negara yang telah melakukan pelacakan kontak terperinci. Melihat penyelidikan kelompok infeksi dari berbagai negara, dia mengatakan bahwa di mana kasus asimptomatik telah ditindaklanjuti sangat jarang untuk menemukan infeksi sekunder di antara kontak mereka.
"Tapi ini masih pertanyaan terbuka besar, apakah hal itu benar secara global," kata Dr Van Kerkhove.
Direktur program kedaruratan kesehatan WHO, Dr Michael Ryan, mengatakan dia benar-benar yakin penularan asimptomatik terjadi. Namun pertanyaannya adalah berapa banyak.
Dr Van Kerkhove, Kepala Penyakit Baru Timbul WHO, membuat perbedaan antara tiga kategori. Satu, orang yang tidak pernah mengalami gejala (asimptomatik). Kedua, orang yang dites positif ketika mereka belum memiliki gejala, tetapi terus mengembangkannya (pra-gejala). Ketiga, orang dengan gejala yang sangat ringan atau atipikal yang tidak menyadari bahwa mereka memiliki virus corona.
Beberapa laporan membedakan antara kategori-kategori ini sementara yang lain tidak. Menurutnya, hal ini bersama dengan kelompok-kelompok orang yang relatif kecil yang diteliti, membuat sulit untuk menarik kesimpulan yang tegas.
Tetapi Dr. Van Kerkhove mengatakan bukti kuat menunjukkan orang yang tidak pernah mengembangkan gejala tidak memainkan peran penting dalam menularkan virus di lokasi yang diteliti.
Studi yang menguji sampel populasi untuk menemukan kasus tanpa gejala, dan kemudian melacak kontak mereka. Studi ini menemukan bahwa infeksi sekunder jauh lebih sedikit daripada pada kontak orang yang memiliki gejala.
Hal ini membuat WHO, dalam panduan tentang penggunaan masker yang diterbitkan pada akhir pekan, membuat kesimpulan. "Bukti yang tersedia dari pelacakan kontak yang dilaporkan oleh negara-negara anggota menunjukkan bahwa orang yang terinfeksi tanpa gejala jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menularkan virus daripada mereka yang mengalami gejala," kata WHO.