Ahad 07 Jun 2020 18:23 WIB

Peneliti LIPI Usul Ambang Batas Presiden Diturunkan

Jika ambang batas sama dengan Pemilu 2019 maka akan ciptakan politik head to head.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Pemilu (ilustrasi). Presidential threshold sebaiknya diturunkan dari 20 persen agar kontestasi politik antara dua pasangan calon saja tidak terus terjadi.
Foto: Dok Republika.co.id
Pemilu (ilustrasi). Presidential threshold sebaiknya diturunkan dari 20 persen agar kontestasi politik antara dua pasangan calon saja tidak terus terjadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Moch Nurhasim mengusulkan agar presidential threshold atau ambang batas presiden diturunkan dari pemilu sebelumnya yang mencapai 20 persen. Jika pemilihan presiden menerapkan ambang batas yang sama maka kontestasi politik antara dua pasangan calon saja terus terjadi berulang kali.

"Dampak politiknya, polarisasinya akan sangat tinggi, dan ini akan mengulang terus menerus di dalam kontestasi politik Indonesia," ujar Nurhasim dalam diskusi virtual 'Kemana Arah RUU Pemilu', Ahad (7/6).

Baca Juga

Ia mengatakan, apabila penerapan ambang batas ini masih sama dengan Pemilu 2019 akan menciptakan polarisasi politik dan politik head to head. Hal ini sudah terjadi pada dua gelaran pemilu sebelumnya yakni 2014 dan 2019 lalu.

"Kenapa syarat presidensial itu perlu diubah, ini agar tercipta paling tidak pada tahapan awal itu ada tiga sampai empat calon presiden dan wakil presiden," lanjut Nurhasim.

Menurut dia, idealnya minimal ambang batas presiden ditetapkan sebesar 10 persen sampai 15 persen. Ia menyebutkan, 10 persen untuk suara DPR dan 15 persen suara pemilu tingkat nasional agar kemungkinan ada empat sampai lima calon presiden. 

Selain itu, alasan syarat presidential threshold perlu diubah dan tidak terlalu tinggi karena konstitusi mengamanatkan pemilihan presiden berdasarkan suara mayoritas mutlak, 50 persen + 1. Nurhasim meminta revisi UU Pemilu tak memaksakan sistem pemilihan presiden menjadi pluralistis.

Ia menjelaskan, Indonesia membutuhkan mayoritas mutlak agar presiden itu milik bersama bukan milik kelompok. Kemudian legitimasinya menjadi kuat sehingga kebijakan-kebijakan politik dan langkah yang diambil tidak menimbulkan persoalan.

"Kalau kemudian plurality terus, problem ketidakpercayaan, problem legitimasi, yang dianggap kurang dan sebagainya ini akan terus-menerus menjadi persoalan sehingga opsi ambang batas pencalonan presiden itu harus dilihat," jelas Nurhasim.

Ia menambahkan, jika batas minimal ditetapkan 10-15 persen, penting menentukan batas maksimal secara tepat. "Jangan sampai suatu saat kita memilih presiden calon tunggal, ini saya kira akan mereduksi sistem demokrasi kita," lanjut dia.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, pembahasan revisi UU Pemilu mencuat usulan terkait ambang batas presiden. Ada fraksi yang ingin 20 persen parlemen dan 25 persen dari suara yang sah, ada juga yang mengingikan presidential threshold itu berubah.

"Jadi di paling minimal 10 persen parlemen dan suara sekitar 15 persenan. Ini isu-isu yang relatif menonjol di parlemen di Komisi II," kata Saan.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement