Jumat 05 Jun 2020 05:31 WIB

PDIP: Wacana Pemakzulan Presiden Saat Pandemi Kuras Energi

Basarah menilai wacana pemakzulan saat pandemi hanya kuras energi bangsa.

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ahmad Basarah menilai wacana pemakzulan Presiden saat pandemi Covid-19 hanya akan menguras energi bangsa dan menuai kritik masyarakat luas. Menurutnya, lebih baik semua pihak bersama-sama membantu menghadapi pandemi Covid-19.

"Ketika semua anak bangsa tengah meresapi hari kelahiran Pancasila, menyelenggarakan diskusi dengan mengangkat tema pemakzulan hanya akan menguras energi bangsa dan menuai kritik masyarakat luas meskipun kegiatan diskusi merupakan ekspresi demokrasi untuk menyampaikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi," kata Basarah dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (5/6).

Baca Juga

Basarah mengatakan, bahwa hak setiap warga negara menyampaikan pendapat. Namun, harus juga diingat bahwa hal itu harus disertai tanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurutnya, dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum disebutkan, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Jadi, selain bertanggung jawab dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam menyampaikan pendapat, setiap orang perlu mengedepankan aspek etika dan moral," ujarnya.

Basarah menilai, demokrasi memerlukan peraturan perundang-undangan agar cara kita hidup bernegara berada di jalan yang benar (on the right track). Begitu pula hukum, menurutnya, harus berjalan paralel dengan etika dan moral. Hal ini perlu harmonisasi antara demokrasi, hukum, etika, dan moral.

Ketua DPP PDI Perjuangan itu melanjutkan, tema terkait dengan pemakzulan presiden sudah kerap terjadi, baik di mimbar akademik maupun forum lain. Akan tetapi, sejauh ini tidak terlalu menimbulkan resistensi dan kegaduhan.

"Lantas mengapa belakangan wacana pemakzulan presiden menimbulkan reaksi penolakan publik secara luas? Fenomena penolakan dan kritis pedas publik ini mestinya menjadi bahan koreksi buat pihak penyelenggara diskusi," katanya.

Basarah menilai, fokus koreksi bukan pada aspek kegiatan dan tema diskusi, melainkan lebih pada persoalan momentum yang tidak tepat. Sebab diskusi itu dilakukan di tengah situasi keprihatinan ketika bangsa sedang berduka menghadapi pandemi Covid-19 dan berbarengan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni.

"Jadi, dalam kondisi susah seperti ini mestinya semua pihak kompak mencari solusi, bukan mencari nama. Bukankah Pancasila yang menjadi ideologi negara kita mengajarkan lima falsafah hidup yang sangat berarti buat kita hidup bersama sebagai bangsa, mulai dari falsafah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, sampai keadilan sosial?," ujarnya lagi.

Ia berharap dalam menghadapi wabah Covid-19, hendaknya semua komponen bangsa memiliki sense of crisis, tepa salira dan kepekaan sosial seperti yang terkandung dalam kelima sila Pancasila. Selain itu, ia meminta jangan demokrasi sekadar dijadikan tameng kebebasan berpendapat, tetapi senyatanya itu merupakan ungkapan sakit hati, tidak legawa, dan sejenisnya.

Oleh karena itu, menurutnya, seharusnya seluruh komponen masyarakat bahu-membahu dan gotong royong dalam menghadapi Covid-19. "Juga mengatasi dampak pandemi yang multidimensi karena dengan gotong royong dan disiplin, anak bangsa ini mampu melewati pandemi," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement