REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putri pertama proklamator RI Mohammad Hatta Prof Meutia Farida Hatta Swasono mengatakan ayahnya memegang prinsip Minangkabau terutama tentang kebersamaan serta musyawarah mufakat dalam kehidupan sehari-hari.
"Budaya Minang yang memengaruhi Bung Hatta ialah prinsip kebersamaan. Beliau orang yang dihormati keluarga Minang, dan beliau dapat melakukan hal yang sama," kata dia saat diskusi daring dengan tema "Mengenal Lebih Dekat Sosok Bung Hatta" di Jakarta, Jumat (22/5).
Di mata putri sulungnya tersebut, Bung Hatta yang lahir di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat merupakan sosok yang tidak mengharuskan hanya orang-orang yang menghormatinya, melainkan ia juga menghormati orang lain termasuk di dalam keluarga.
"Kami di keluarga saling menghormati. Saya belajar dan melihat ayah hingga 1980. Tepat usia saya 33 tahun ayah meninggal, namun saya mengikuti ajarannya hingga sekarang," ujarnya.
Selain itu, Bung Hatta juga merupakan sosok yang sama antara kata dan perbuatan. Dengan kata lain, apa yang dikatakan dan dilakukan Wakil Presiden RI pertama itu sama. Ia juga tidak mengharuskan anak-anaknya melakukan hal-hal tertentu, melainkan mengajarkannya dengan memberi contoh.
Sebagai teladan sederhana, Bung Hatta mengajarkan menjadikan meja makan sebagai suatu peristiwa khusus sehingga tidak menggunakan piyama saat makan, termasuk ketika sahur di bulan Ramadan.
"Kalau makan sahur tidak pakai piyama, ganti baju dulu. Sebab meja makan itu peristiwa khusus, bukan mau tidur. Itu saya ikuti sampai sekarang," katanya.
Hal tersebut mengajarkan untuk hidup teratur dimana terdapat hal-hal santai, namun tetap dengan adanya aturan. Termasuk pula aturan untuk makan, menata makanan, berpakaian serta berbicara.
"Jadi pada situasi apa, berpakaian apa, berbicara apa, itu ada aturan," ujar dia.
Apalagi, di keluarganya terdapat kebiasaan satu keluarga untuk makan siang dan makan malam bersama. Pada momentum itulah tercipta perbincangan baik itu mengenai sosial budaya, keadaan masyarakat, berbagai peristiwa terkini hingga pengalaman sehari-hari.
Menurut dia, di situlah diketahui berbagai macam informasi. Apalagi di saat makan siang dan malam juga terdapat kunjungan tamu-tamu dari berbagai kalangan sehingga tercipta perbincangan yang lebih luas.
"Tapi beliau tidak ingin ada orang yang terasing dalam kumpulan. Jika ada tamu yang kurang bisa bicara bahasa Indonesia, misalnya keluarga Minang maka beliau akan bicara bahasa Minang," ujar dia.