Senin 18 May 2020 12:19 WIB

Pemerintah Bahas Perpres Pelibatan TNI Berantas Terorisme

Perpres tersebut masih berada di Kementerian Pertahanan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Tentara Nasional Indonesia
Foto: ANTARA
Tentara Nasional Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pemerintah akan membahas draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme bersama dengan Sekretariat Negara (Setneg) pekan ini. Saat ini, Perpres tersebut masih berada di Kementerian Pertahanan (Kemenhan).

"Draf Perpres masih di Kemenhan. Rencananya minggu ini baru akan dibahas bersama dengan Setneg," ujar Juru Bicara Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, melalui pesan singkat, Senin (18/5).

Baca Juga

Dini menyampaikan, semua hal yang ada pada draf Perpres tersebut masih dapat berubah hingga proses finalisasi dilaksanakan. Isi dari Perpres yang dikritik karena berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) tersebut akan sangat tergantung dari proses diskusi yang berjalan.

"Semuanya masih bisa berubah dalam proses finalisasi. Tergantung bagaimana nanti proses diskusinya," kata dia.

Perpres yang telah diserahkan pemerintah ke DPR tersebut memang menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil menilai rancangan Perpres tersebut mengancam kehidupan HAM di Indonesia karena pemberian mandat yang teramat luas kepada TNI.

"Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme mengancam kehidupan HAM di Indonesia karena memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI," ujar perwakilan dari Kontras, Feri Kusuma, kepada Republika.co.id, Sabtu (16/5).

Pengaturan tersebut, kata dia, juga tidak diikuti dengan mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum. Dengan hal tersebut, penanganan tindak pidana terorisme oleh TNI kepada warga negara di dalam negeri melalui fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan, yang ada pada Pasal 2 Rancangan Perpres tersebut, tidak hanya berbahaya, tapi juga sama saja memberikan cek kosong bagi militer.

"Jika terjadi kesalahan dalam operasi yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas," jelas dia.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai, pengaturan kewenangan fungsi penangkalan dalam Pasal 3 Rancangan Perpres tersebut sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya. Sementara itu, Rancangan Perpres ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan "operasi lainnya".

"Dengan Pasal ini TNI mempunyai keleluasaan untuk terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia," kata dia.

Feri menjelaskan, istilah penangkalan tidak dikenal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT. Kewewenangannya diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI.

"Berbeda halnya dengan Rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan pencegahan pada Pasal 7 Rancangan Perpres," terang dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement