REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Dewan Pers, Muhammad Nuh memberikan tujuh catatan kepada media dalam pemberitaannya selama masa pandemi Covid-19 atau corona. Ketujuh catatan tersebut dibeberkannya, karena media punya andil besar ke masyarakat pada saat seperti ini.
Pertama, ia menyoroti media yang membuka rahasia medis dan identitas dari pasien Covid-19. Hal ini dinilainya mencoreng nama media, karena dianggap mengungkapkan data privasi seseorang. "Kedua, banyak pemberitaan seputar Covid-19 bersifat sensasional, menimbulkan kehebohan," ujar Nuh dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR, Senin (20/4).
Menurutnya, pemberitaan tersebut berpotensi menyebabkan kepanikan di masyarakat. Karena, terasa hanya mengeksploitasi pasien Covid-19.
Ketiga, pemberitaan yang tidak edukatif dan tidak menuntun publik dengan pengetahuan. Padahal, hal tersebut diperlukan agar masyarakat tak meremehkan virus corona. "Selanjutnya, sering awak media tidak akurat dan kurang selektif dalam memilih narasumber," ujar Nuh.
Kelima, pemberitaan yang diberikan sebuah media terkadang tidak lengkap. Justru, terkesan parsial dan mencemaskan publik dengan informasi yang disajikan.
Keenam, media elektronik sering membuat bingung dan cemas masyarakat. Sebab bobot edukasi berita yang diberikan kurang, dan sering diulang-ulang. "Terakhir, media massa juga dikritik karena sering menjadi ajang debat dan diskusi Covid-19, tanpa arah dan solusi yang jelas," ujar Nuh.
Namun, ia menegaskan bahwa terdapat kritik yang disampaikan media terkait Covid-19 tidaklah salah. Jika objek yang diberitakan memang terdapat kelemahan yang perlu dikritik. "Tugas pers profesional memang menjalankan fungsi kritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik," ujar Nuh.
Meski begitu, ia meminta media untuk tetap dalam koridor kode etik jurnalistik. Agar pemberitaan tak menyampaikan informasi yang salah ke masyarakat. "Kritik pers adalah energizer agar pemerintah lebih serius dan seksama dalam menangani keadaan pandemi Covid-19," ujar Nuh.