Jumat 17 Apr 2020 17:31 WIB

Klaim Keterbukaan Informasi Covid-19 dan Revisi Angka Wuhan

Angka kasus positif dan kematian di China diduga lebih besar dari laporan resmi.

Warga Wuhan mulai menikmati kembali kehidupan seperti normal setelah pandemi covid-19 perlahan meninggalkan China. Negara China namun dipertanyakan apakah data kasus dan kematiannya akurat atau ditutup-tutupi.
Foto: EPA-EFE/ROMAN PILIPEY
Warga Wuhan mulai menikmati kembali kehidupan seperti normal setelah pandemi covid-19 perlahan meninggalkan China. Negara China namun dipertanyakan apakah data kasus dan kematiannya akurat atau ditutup-tutupi.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwina Agustin, Fergi Nadira

Meski terjadi pertama kali di China, angka penderita Covid-19 di negara tersebut sudah jauh dilalui oleh sejumlah negara seperti Amerika dan beberapa negara Eropa. Muncul dugaan kalau China sebenarnya menutup-nutupi angka penderita dan kematian akibat Covid-19 yang sebenarnya.

Baca Juga

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian mengatakan, pemerintah Beijing tidak pernah menutup-nutupi informasi seputar wabah virus corona di China, Jumat (17/4). Dia mengaku, mereka tidak akan mengizinkan  dan tidak pernah melakukan hal tersebut.

Zhao mengatakan, revisi jumlah kasus di Wuhan, tempat epidemi pertama kali muncul pada akhir 2019, adalah hasil dari verifikasi statistik. Hal itu dapat terjadi ketika memastikan keakuratan dan revisi adalah praktik umum di internasional.

Pernyataan itu muncul setelah Otoritas Kesehatan Wuhan merevisi jumlah kematian kumulatifnya sebesar 50 persen menjadi 3.869. Laporan terbaru itu dilakukan setelah penyelidikan lokal menemukan 1.290 kematian tambahan akibat Covid-19.

Dikutip dari CNBC, laporan itu untuk memperbaiki pelaporan, keterlambatan, dan kelalaian yang salah. Penyelidikan menyisir melalui sistem pemakaman dan medis. Pemerintah Wuhan mengakui angka awal tidak lengkap karena wabah telah melanda kota dan beberapa pasien meninggal di rumah.

Laporan Xinhua mengatakan, faktor lain adalah rumah sakit yang ditunjuk untuk merawat pasien diperluas ke lembaga di tingkat kota dan kabupaten, termasuk rumah sakit swasta, dan tidak semua terhubung dan memberi informasi yang tepat waktu ke jaringan epidemi pusat. Bulan lalu, foto-foto ribuan guci abu yang diangkut ke rumah duka di Wuhan beredar di platform media sosial China yang meningkatkan kekhawatiran bahwa jumlah sebenarnya kematian di kota tempat virus pertama kali muncul lebih tinggi daripada yang diakui secara resmi.

Awal April, Wuhan telah mencabut lockdown atau karantina wilayah. Setelah 11 pekan karantina, 11 juta warganya diperbolehkan keluar rumah, berpergian, dan bekerja meski tetap mengikuti anjuran ketat kesehatan.

Dengan penambahan itu, China melaporkan korban meninggal dunia menjadi  4.632 orang. Sedangkan total kasus yang dikonfirmasi telah direvisi dari 82.367 menjadi 82.692.

photo
Seorang pria mengenakan masker saat tidur siang di sebuah bangku di Wuhan, Hubei, Cina, Jumat, (3/4). - (AP/Ng Han Guan)

Beberapa pihak secara terbuka mempertanyakan keakuratan pengungkapan China mengenai skala korban di negara tersebut. Tuntutan keterbukaan informasi paling keras dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang saat ini menghadapi kasus dan jumlah meninggal terbesar di seluruh dunia akibat Covid-19 dengan 678.210 kasus dan 34.641 kematian, seperti dikutip dari Reuters.

Bukan hanya Trump yang mempertanyakan angka kematian yang sesungguhnya di China. Bagi beberapa warga Wuhan ada kesangsian dari data yang diberikan pemerintah.

Dikutip dari South China Morning Post, Tian (33), seorang warga Wuhan, merasakan momen dramatis ketika hidup di tengah epidemi Covid-19. Ia mempertanyakan sistem peringatan dini kesehatan yang sudah dibuat China setelah wabah SARS terjadi 17 tahun lalu. Dia juga ingin mengetahui mengapa dokter pertama di Wuhan yang memperingatkan warga tentang virus justru dibungkam oleh kepolisian.

"China menghabiskan jutaan dolar untuk sistem peringatan dini bagi penyakit menular. Kenapa bisa gagal? Kami juga memiliki sosok yang membocorkan kondisi, kenapa justru dibungkam?" katanya.

Ia mengatakan, bila tidak ada pelajaran yang diambil dari kasus tersebut maka krisis akan muncul dan justru kondisinya bisa lebih parah.

Angka pasien Covid-19 di China memang terus turun. Setelah 76 hari, China mulai membuka karantina yang diterapkannya untuk beberapa kota.

Kritik namun terus mengatakan ada sesuatu yang ditutupi pemerintah di masa awal wabah terjadi. Beberapa bahkan menyalahkan Partai Komunis China dan Presiden Xi Jinping.

Presiden Jinping mengakui bahwa ada pelajaran yang harus dilalui. Pernyataannya namun terkait ke upaya mengontrol penyakit dan perdagangan satwa liar, penyebab dugaan terjadinya virus corona yaitu dari hewan ke manusia yang mungkin terkait dengan pasar basah di Wuhan.

photo
Ibu dan anak makan di depan rumah mereka di wilayah pedesaan Wuhan, Cina, Selasa (14/4). Sebagian besar penduduk desa di daerah pedesaan Wuhan kembali bekerja di ladang setelah dicabutnya lockdown . Wuhan yang merupakan pusat penyebaran wabah koronavirus, telah mencabut lockdown pada 08 April 2020. - (EPA-EFE/ROMAN PILIPEY )

Warga Wuhan lainnya, Stephen Cheng (30), mengalami kondisi istri hamil dan ayah yang terkena virus corona. Ia harus bolak balik ke rumah sakit akibat keadaan istrinya dan ayahnya.

"Jika pembuat keputusan pernah mengunjungi atau berbincang dengan dokter di garis depan, mereka akan tahu berapa banyak pasien yang ada dan mereka bisa mengambil langkah pencegahan lebih awal," kata Cheng.

Cheng menjalani dua minggu sibuk mencari rumah sakit akibat terus menerus ditolak. Ratusan orang disebutnya menunggu di tujuh rumah sakit utama untuk mendapatkan ruang perawatan.

Menurut kalkulasi Cheng kemungkinan ada 10 ribu kasus dalam sepekan saat karantina dimulai. Ketika itu angka resmi untuk kasus positif di Wuhan baru 2.600 kasus.

"Saya percaya angka kematiannya lebih tinggi, tapi saya tidak tahu berapa banyak," katanya.

Dilansir dari AP, sebanyak 3.000 orang telah terinfeksi sebelum China mengumumkan pandemi sedang terjadi. Setidaknya pengumuman terjadi enam hari setelah ribuan orang sudah terinfeksi.

Keakuratan data Covid-19 di China juga dipertanyakan ketika di awal bulan Januari tidak ada laporan kasus baru atau kematian di Wuhan. Akibatnya muncul dugaan pejabat China mencoba meminimalisir wabah dan menyia-nyiakan kesempatan untuk mencoba mengontrolnya dalam waktu lebih singkat.

Salah satu buktinya adalah adanya delapan tenaga medis, termasuk dokter yang akhirnya meninggal akibat virus, yang diancam oleh polisi karena mencoba mengingatkan lewat media sosial ada virus yang mengancam.

photo
Ini yang Perlu Dilakukan Bila Tetangga Terkena Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement