REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rahayu Subekti, Rahma Sulistyawati, Antara
Pemerintah belum secara tegas melarang masyarakat di perkotaan pulang kampung atau mudik. Pemerintah saat ini baru sebatas mengimbau masyarakat agar tidak mudik. Seandainya harus mudik masyarakat diminta melakukan isolasi diri selama 14 hari.
Ketua Masyarakat Transpotasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono menilai apabila mobilisasi mudik tidak dilarang, maka pemerintah daerah yang akan menanggung beban. Beban tersebut berupa sosial maupun ekonomi.
“Kalau menghadapi gestur orang Indonesia dan hanya diimbau, tingkat pelanggarannya besar. Dampaknya ke pemda, kalau masyarakat ini benar-benar mudik, maka yang terdampak secara ekonomi serta masalah-masalah sosial itu pemda,” kata Agus dalam konferensi pers melalui video di Jakarta, Selasa (14/4).
Pasalnya, dia menyebutkan, terdapat 1,3 juta orang di Jabodetabek yang masih berpotensi untuk mudik di mana daerah-daerah tujuan. Yaitu di antaranya Jawa Barat 13 persen, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta 41 persen, Jawa Timur 20 persen, Lampung serta Sumatra Selatan delapan persen.
Agus membagi jadi tiga kategori pemudik. Yakni nekat mudik karena budaya mudik tahunan, nekat mudik karena tidak ada pemasukan biaya hidup, dan bersikeras mudik karena permintaan orang tua dan keluarga.
“Berdasarkan hasil rapat dengan Kemenhub, sekitar 900 ribu orang sudah mudik sisanya tinggal 2,6 juta yang belum pulang,” kata Agus. Namun, lanjut dia, setengah dari 2,6 juta orang dari data tersebut, yakni berprofesi sebagai PNS, pegawai BUMN, BUMD yang sudah mendapat Instruksi Presiden untuk dilarang mudik.
“Artinya, ada 1,3 juta orang yang dianggap masih ada potensi mudik,” katanya. “Ini lah yang perlu dilihat dampak mudik di Jateng, Jatim, dan Jabar, DIY jadi deerah ODP atau penularan baru atau daerah wabah baru kalau misalkan mudik ini tidak ditangani pemerintah,” katanya.
Apabila mobilitas mudik tetap terjadi, dia mengatakan, daerah-darah tersebut akan menjadi pusat penularan wabah baru. Selain itu, lanjut dia, pemda juga harus siap dengan tempat karantina yang menampung dahulu orang dalam pengawasan (ODP) selama 14 hari.
Kondisi tersebut belum lagi diperparah dengan adanya penolakan dari warga yang berpotensi pecahnya konflik di daerah tujuan. “Ada rawan penolakan, meski dikarantina, tapi ada konflik penolakan warga setempat. Kemudian keterbatasan pelayanan Covid di daerah karena RSUD dan Puskemas tidak memadai. Fakta itu tidak bisa dipungkiri,” katanya.
Pengamanan juga harus disiapkan di tingkat RT/RW yang perlu dilakukan oleh pemda setempat. “Kalau pemudik sudah bergeser ke sana, berstatus ODP dan itu jadi tanggung jawab Pemda,” katanya.
Agus mengusulkan kepada pemerintah agar mengkaji betul keputusan tidak melarang mudik karena dampaknya yang sangat besar. “Kalau saya tetap melarang, karena diimbau ini ambigu,” katanya.
Untuk mencegah mobilitas mudik, MTI menyarankan pemerintah menggalakkan kampanye jangan mau jadi orang dalam pengawasan (ODP) demi keselamatan keluarga di kampung, pemberian bantuan langsung tunai (BLT) dalam bentuk bahan pokok dan uang serta vocher komunikasi kompensasi kangen mudik. Namun, menurut dia, apabila angkutan umum benar-benar dihentikan operasinya, akan ada lonjakan penyewaan angkutan pribadi tanpa kendali yang justru mempercepat penularan Covid-19 di lokasi tujuan.
Padahal, Agus menegaskan bahwa transportasi dan mobilisasi adalah salah satu faktor penyebab utama penularan. “Transportasi dan mobilisasi berpotensi penularan corona. Ini dianggap sebagai penyebab prima dari penularan virus corona. Dari hal-hal kecil bertemu bersalaman kemudian mobilisasi naik transportasi, sarana transportasi, berlama-lama berkerumun lalu turun di pelabuhan, terminal, bandara kemudian menyebarkan ke tujuan perjalanan. Ini adalah siklus sulit dideteksi penularannya, tetapi itu terjadi,” katanya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menganjurkan pemerintah memberikan disinsentif bagi masyarakat yang nekat mudik. "Misalnya untuk pengguna kendaraan bermotor pribadi dinaikkan harga BBM-nya dan atau tarif tolnya. Untuk pengguna angkutan umum, bisa dimahalkan tarif tiketnya, misalnya menjadi dua kali lipat dibanding harga normal," ujar Tulus dalam keterangan tertulis.
Tulus mengatakan, Pemerintah pusat seharusnya sejalan dengan kebijakan kepala daerah yang memberlakukan larangan mudik dari zona merah memasuki daerahnya. Jika akses mudik tetap dibuka maka akan berisiko bagi pemudik untuk ditolak di daerahnya, dan akan kesulitan akses untuk balik ke Jakarta lagi.
Masifnya infeksi virus ke daerah akan membuat sistem pelayanan RS di daerah kewalahan, mengingat kondisi infrastruktur dan jumlah dokter dan tenaga kesehatan yang sangat terbatas.
Tulus melanjutkan, pengawasan di lapangan juga akan sulit, bahkan praktiknya nyaris tidak bisa diimplementasikan. Lazimnya mudik dalam situasi kondisi yang cenderung padat. Sehingga sangat berat untuk mengontrol protokol kesehatan yang diterapkan.
"Misalnya mobil pribadi maksimal harus berpenumpang 4 orang, atau sepeda motor hanya boleh satu orang. Mudik adalah acara keluarga, tak mungkin dipisahkan dengan pembatasan kapasitas penumpang kendaraan pribadi," katanya.
Menurutnya, yang akan terjadi di lapangan polisi akan kompromistis, alias membiarkan pemudik motor berpenumpang dua orang atau lebih untuk jalan terus ke kampung halamannya. Tidak tega jika suruh balik lagi ke Jakarta, begitu juga untuk roda empat sekalipun.
"Demi menekan persebaran virus corona ke daerah, pemerintah harus bersikap tegas untuk melarang aktivitas mudik Lebaran. Pemerintah jangan bersikap ambigu dan inkonsisten. Sikap semacam ini justru menjadi pelecut untuk makin masifnya persebaran virus corona ke daerah," jelas Tulus.
Pemerintah diharapkan cepat dan tepat sasaran untuk memberikan insentif dan kompensasi pada warga yang tidak mudik, baik untuk keperluan logistik dan atau biaya tempat tinggal (sewa kontrakan), khususnya untuk kelompok menengah bawah, pekerja harian. Mereka memaksakan mudik karena di Jakarta sudah tidak ada pemasukan.