Kamis 09 Apr 2020 12:20 WIB
Corona

SBY: Indonesia Harus Bersatu Hentikan Pandemi Corona

Artikel Mantan Presiden SBY menyoroti soal pandemi Corona

SBY saat memberi sambutan di acara mengenang setengah tahun kepergian Ani Yudhoyono di Gunung Geulis, Bogor,.
Foto:

Menghadapi situasi yang berat saat ini, inilah saran-saran sederhana saya.

Pertama kepada masyarakat.

Kepada masyarakat saya berharap janganlah selalu apriori terhadap apa saja yang dilakukan pemerintah. Termasuk, kebijakan dan tindakannya. Jangan terlalu cepat menuduh pemerintah sebagai tidak serius, bahkan tidak berbuat apa-apa. Menurut saya, tidak ada di dunia ini yang pemerintahnya berpangku tangan dan tidak berbuat yang semestinya dalam menghadapi wabah korona dewasa ini.

Secara pribadi saya melihat bahwa pemerintah kita juga telah menjalankan kewajibannya. Dalam setiap krisis, situasinya memang tidak mudah dan persoalannya pun banyak. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, termasuk keterbatasan keuangan negara, pemerintah telah berupaya untuk menanggulangi wabah korona ini.

Sebaiknya, warga masyarakat jika berbicara atau berkomentar tidak melampaui batas. Termasuk jika mengkritik atau berkomentar tentang presiden dan para pemimpin kita yang lain. Kebebasan berbicara yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang pun ada batasnya. Masyarakat yang baik dan cerdas akan tetap bisa menyampaikan pendapat dan kritik-kritiknya, tanpa harus melakukan penghinaan, hujatan dan caci maki yang kasar dan melampaui kepatutannya. Saya berpendapat, di negeri ini siapapun bisa mengutarakan pandangan bahkan mengkritik secara lugas dan terbuka. Namun, tetaplah pandangan dan kritik itu disampaikan dengan kata-kata yang “berkeadaban”.

Mungkin saja sejumlah pejabat pemerintah tidak bisa menerima kata-kata yang keras dan kasar, karena merasa sudah berbuat dan berupaya dalam mengatasi krisis korona saat ini. Karena merasa dihina, beliau-beliau ingin mengganjar para “penghina” itu dengan penalti hukuman. Itulah sebabnya, saya ikuti pihak kepolisian secara proaktif juga ikut  memberikan peringatan kepada masyarakat, bahwa siapapun yang melanggar akan dipidanakan. Tentu ini serius.

Karenanya, agar tidak ada gelombang penahanan dan pemenjaraan kepada rakyat yang dianggap menghina pejabat, sebagai sesama anggota masyarakat saya mengajak marilah kita kontrol (kendalikan) ucapan-ucapan kita. Marilah dengan niat yang baik, kita sampaikan pandangan kita apa adanya, tanpa harus menghina pemimpin kita.

Mungkin sebagian masyarakat masih ingat ketika saya sedang mengemban amanah sebagai Presiden dulu. Saya juga mengalami nasib yang sama. Bahkan lebih pahit pengalaman hidup yang saya alami. Lebih “sadis” cacian dan hinaan yang ditujukan kepada saya dulu. Termasuk ketika saya sedang mengatasi krisis yang datang silih berganti. 

Masih segar dalam ingatan saya, apa yang saya alami dulu. Kalau isteri tercinta Ani belum dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dia bisa menjadi saksi dan bisa memberikan testimoninya. Ketika itu juga sedang ada krisis ekonomi. Saya dan jajaran pemerintah tengah bekerja keras, siang dan malam. Terus terang saya juga tegang, letih dan takut kalau Indonesia tidak selamat. Kalau ekonomi Indonesia jatuh lagi, betapa kasihannya rakyat kita.

Nah, dalam suasana seperti itu, secara bertubi-tubi dan di banyak tempat saya diserang dan dihina.  Di parlemen, di media massa, dan di jalanan dengan macam-macam unjuk rasa. Kata-katanya sangat kasar dan menyakitkan. Beberapa kali isteri tercinta menangis. Terkadang saya juga hampir tidak kuat dengan hinaan-hinaan yang melampaui batas itu. Namun, saya berpikir dalam-dalam. Saya harus kuat, harus tegar, dan harus sabar. Saya menghibur diri saya sendiri, .... saya dibeginikan karena saya pemimpin, karena saya presiden. Semua menjadi tanggung jawab saya, kodrat saya. Kalau saya tidak kuat dan patah di tengah jalan, justru negara akan kacau. Rakyat justru akan menderita. Karenanya saya tetap fokus pada tugas dan kewajiban saya. Saya yakin bahwa badai pasti berlalu.

Apa yang ingin saya sampaikan dengan mengangkat kisah yang saya alami ini?

Ada kaitannya dengan situasi sekarang. Meskipun saya dulu tidak pernah mempolisikan mereka-mereka yang menghina saya, (lain halnya kalau memfitnah), melalui artikel ini saya menyerukan agar apa yang dulu dilakukan kepada saya, janganlah dilakukan kepada pemimpin-pemimpin yang lain. Meskipun saya dulu kuat dan sabar, bagaimanapun cacian dan hinaan yang melampaui batas itu tidak baik. Tidak baik jika terjadi di negara Pancasila ini. Di negara yang berke-Tuhanan ini.

Saya pernah berjanji, dan alhamdulillah janji itu saya tepati, tidak pernah membalas hinaan itu dengan hinaan kepada mereka-mereka yang menghina saya dulu. Jika selama ini saya dan keluarga tidak melakukan hinaan dan sumpah serapah kepada pemimpin lain, karena saya dan keluarga telah merasakan betapa sedih dan menyakitkannya perlakuan seperti itu.

Inilah pandangan dan saran saya kepada siapapun, agar tak ada satupun warga Indonesia yang kena “ciduk”. Yang harus menjalani hukuman di penjara karena salah berucap, padahal hidup mereka sedang susah di era wabah korona ini. Jangan sampai... sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Sekarang, ijinkan saya menyampaikan pandangan dan saran kepada pemerintah.

Dalam keadaan darurat dan sekaligus krisis seperti sekarang ini, sebaiknya pemerintah bisa mencegah terjadinya masalah baru. Misalnya masalah sosial, ataupun masalah politik, yang bisa mengganggu upaya pemerintah menyelamatkan rakyat dari wabah virus korona yang mematikan ini.

Dengan keadaan psikologi masyarakat di era pandemi besar ini, sebagaimana yang saya utarakan sebelumnya, bisa saja warga kita ada yang salah berucap. Misalnya, di media sosial, ada kata-kata yang melampaui batas. Menghadapi masalah ini, alangkah baiknya kalau yang diutamakan adalah tindakan yang persuasif terlebih dahulu. Tindakan pencegahan terlebih dahulu. Pendekatan dan penyelesaian yang non yudisial dulu. Kalau sudah tidak mempan, memang benar-benar keterlaluan dan tidak ada cara lain, barulah pendekatan hukum yang dilakukan.

Saya hanya tidak ingin negara dan pemerintah menghadapi banyak “front”. Sebagai seorang prajurit yang hampir 30 tahun mengabdi di bidang pertahanan dan keamanan negara, kita diajarkan janganlah membuka medan permusuhan yang terlalu banyak. Padahal, sebagaimana pandangan saya sebelumnya, justru saat ini kita harus kompak dan fokus pada upaya besar menghentikan virus korona di tanah air kita.

Saya juga bermohon, janganlah pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan antipati baru, bahkan perlawanan dari rakyatnya. Jangan pula pernyataan itu melukai mereka-mereka yang justru ingin membantu pemerintah. Misalnya, dengan mudahnya mengatakan yang bersuara kritis itu pastilah mereka yang berasal dari pemerintahan yang lalu. Berarti pemerintahan yang saya pimpin dulu. Atau berasal dari kalangan yang tidak ada di kabinet sekarang ini. Tuduhan gegabah seperti ini hanya akan membuka front baru. Front yang sangat tidak diperlukan ketika kita harus bersatu menghadapi virus korona dan tekanan ekonomi yang berat saat ini.

Saya juga bermohon agar pemerintah tidak alergi terhadap pandangan dan saran dari pihak di luar pemerintahan. Banyak kalangan yang menyampaikan pikirannya, mungkin sedikit kritis, tetapi mereka-mereka itu sangat pro pemerintah. Juga sangat mendukung Presiden Jokowi.

Amat berbahaya jika ada pihak yang menyampaikan pandangan kritisnya, dan kebetulan mereka itu pernah bertugas di pemerintahan SBY, atau sekarang tidak berada dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi, lantas dianggap sebagai musuh pemerintah. Sebagai musuh negara. Menurut saya, pandangan dari pihak di luar pemerintah itu tetap ada gunanya jika pemerintah sudi untuk mendengarkannya.

sumber : rilis
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement