Kamis 09 Apr 2020 12:20 WIB
Corona

SBY: Indonesia Harus Bersatu Hentikan Pandemi Corona

Artikel Mantan Presiden SBY menyoroti soal pandemi Corona

SBY saat memberi sambutan di acara mengenang setengah tahun kepergian Ani Yudhoyono di Gunung Geulis, Bogor,.
Foto:

Mengapa melalui artikel ini, dengan segala kerendahan hati saya masih mengingatkan perlunya kita terus dan tetap bersatu? Mengapa pula kita harus makin intensif melakukan segala upaya untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dari ancaman korona, termasuk bisa dihentikannya penyebaran Covid-19 di negeri kita?

Tentu ada sejumlah alasan.

Pertama, krisis virus korona di negeri kita belum berakhir. Belum selesai. Indonesia juga belum aman. Salah besar kalau kita merasa sudah berhasil mengatasi wabah korona ini, dan kemudian mulai menjalani kehidupan seperti biasa.

Di samping itu, saya melihat masih ada elemen di negeri ini yang belum benar-benar fokus dan tidak bekerja sesuai prioritasnya. Ingat, first thing first. Waktu dan sumber daya kita terbatas, sehingga harus diarahkan kepada kepentingan dan sasaran utama kita saat ini.

Prioritas kita adalah menyelamatkan saudara kita yang sudah terjangkit korona (to save their life), serta membatasi dan menghentikan  penyebaran virus korona (to contain and to stop the spread of Covid-19). Kalau sasaran ini dapat dicapai, kita bisa menyelamatkan lebih banyak lagi jiwa rakyat Indonesia. Kalau virus korona bisa kita lumpuhkan, kehidupan masyarakat akan kembali normal. Ekonomi Indonesia juga akan tumbuh dan berkembang lagi.

Kedua, saya perhatikan beberapa hari terakhir ini justru ada situasi yang tak sepatutnya terjadi. Apa itu? Kembali terjadi ketegangan antara elemen masyarakat dengan para pejabat pemerintah, bahkan disertai dengan ancaman untuk “mempolisikan” warga kita yang salah bicara. Khususnya yang dianggap melakukan penghinaan kepada Presiden dan para pejabat negara.

Mumpung ketegangan ini belum meningkat, dengan segala kerendahan hati saya bermohon agar masalah tersebut dapat ditangani dengan tepat dan bijak. Kalau hal ini makin menjadi-jadi, sedih dan malu kita kepada rakyat kita. Rakyat sedang dilanda ketakutan dan juga mengalami kesulitan hidup karena terjadinya wabah korona ini. Juga malu kepada dunia, karena saya amati hal begini tidak terjadi di negara lain.

Berkaitan dengan alasan pertama, agar kita tetap fokus pada penanganan virus korona saya pikir tak perlu saya elaborasi. Saya percaya semua pihak pasti sepakat untuk melakukannya, termasuk jajaran pemerintah yang saat kini juga sedang berupaya sekuat tenaga.

Saya juga menyambut baik semua kebijakan dan tindakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk meningkatkan penanggulangan Covid-19. Termasuk penyediaan anggaran yang disampaikan Presiden Jokowi beberapa saat yang lalu, yang saya pandang cukup memadai, terutama untuk saat ini. Anggaran yang saya maksud adalah yang ditujukan untuk menanggulangi Covid-19, serta bantuan kepada rakyat yang mengalami kesulitan hidup akibat terjadinya wabah saat ini. Itu kebijakan yang tepat dan sangat diperlukan. Saya berharap, sebagaimana harapan rakyat kita, dana itu dapat disalurkan secara tepat sasaran dan tepat waktu, sehingga mendapatkan hasil yang maksimal.

Yang ingin saya tanggapi adalah terjadinya ketegangan baru antara unsur masyarakat dengan pihak pemerintah. Ketegangan vertikal seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Tidakkah kita justru harus makin kompak, makin bersatu dan makin efektif dalam kerjasama  memerangi virus korona saat ini?

Isu yang muncul sebenarnya klasik dan tidak luar biasa. Intinya adalah bahwa negara, atau pemerintah, akan mempolisikan siapapun yang menghina presiden dan para pejabat pemerintah.  Saya pahami ini sebagai peringatan (warning), bukan ancaman, dari pihak yang memiliki kekuasaan di bidang hukum.

Mengapa saya katakan ini sebenarnya klasik dan tidak luar biasa, karena hal begini kerap terjadi di sebuah negara. Sekalipun negara itu menganut sistem demokrasi. Biasanya terjadi di negara yang demokrasinya tengah berada dalam masa transisi dan atau konsolidasi. Ataupun negara yang demokrasinya masih mencari bentuk dan model yang paling tepat. Atau negara yang memiliki pranata hukum warisan era kolonialisme. Sistem hukum yang memberikan hak (power) kepada penguasa, untuk menghukum warga negara yang didakwa menghina atau tidak menghormatinya.

Yang menjadi luar biasa adalah kalau hukum-menghukum ini sungguh terjadi ketika kita tengah menghadapi ancaman korona yang serius saat ini. Jujur, dalam hati saya harus bertanya mengapa harus ada kegaduhan sosial-politik seperti ini?

Melalui artikel ini, kalau diperkenankan, saya ingin menyampaikan pandangan saya. Sekaligus saran dan harapan saya baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

Saat ini, di negeri ini, bahkan di seluruh dunia, kehidupan masyarakat sedang dalam situasi yang sangat “stressful”.  Dalam hal ini saya mengartikan stressful secara luas, yaitu sebagai tegang, gamang, takut, emosional dan bahkan cepat marah.

Manusia dan masyarakat takut kalau kena korona. Takut kalau sakit dan kemudian meninggal dunia. Sebagian bingung, tak percaya diri dan mudah terpengaruh tanpa bisa berpikir secara rasional. Masyarakat golongan bawah, terutama yang kehilangan pekerjaan, mengalami kesulitan hidup yang luar biasa. Di antara mereka ada yang mudah menyalahkan pihak lain, termasuk pemerintah dan pemimpin-pemimpinnya.

Sebuah studi mengatakan bahwa 75 % anggota masyarakat tergolong kuat menghadapi situasi pandemi seperti sekarang ini. Sementara, 25 %-nya  tergolong rentan dan kondisi mentalnya mengalami gangguan. Di sejumlah negara, yang paling ekstrim bahkan  melakukan bunuh diri.

Pihak pemerintah pun sebenarnya juga mengalami tekanan-tekanan psikologis. Memang sering dibantah oleh mereka-mereka yang tengah berkuasa, dengan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Pemerintah takut kalau rakyatnya banyak yang kena korona dan meninggal. Takut kalau upaya dan tindakannya gagal. Juga takut kalau kebijakannya disalahkan oleh rakyat, baik sekarang maupun di hari nanti. 

Tanpa disadari, sebagian penguasa dan pejabat pemerintah menjadi sensitif. Menjadi kurang sabar dan tak tahan pula menghadapi kritik, apalagi hinaan dan cercaan.

Situasi seperti inilah yang bisa memunculkan  “benturan” antara elemen masyarakat dengan pihak pemerintah. Apalagi kalau sebelumnya sudah ada benih-benih ketidak-cocokan dan ketidak-sukaan. Misalnya, sebagian masyarakat tidak suka sama pejabat A dan pejabat B. Atau pemerintah sudah memasukkan si C dan si D sebagai lawan pemerintah. Saya mengamati ada benih-benih dan masalah bawaan seperti ini di negara kita. Dalam situasi sosial yang tidak stabil dan penuh “tension”, seperti di era wabah korona saat ini, benturan sangat mungkin terjadi.  

Saya bukan ahli psikologi, termasuk psikologi sosial dan psikologi pandemi. Saya juga bukan seorang dokter yang ahli tentang virus korona. Saya hanyalah seorang yang pernah berada di dalam pemerintahan ketika menghadapi situasi krisis, dan kini berada di barisan masyarakat yang mengerti apa perasaan dan harapan mereka. Barangkali hanya inilah modal yang saya miliki. Karenanya, saya mohon maaf kalau pandangan saya ini keliru dan pemerintah tidak berkenan menerimanya. Atau juga kalau masyarakat tidak menyukai pemikiran saya ini.

Yang pertama-tama harus saya sampaikan adalah saat ini kita semua sedang diuji. Termasuk pemerintah dan masyarakat. Apakah kita kuat, sabar, tegar dan berhasil menjalani kehidupan yang berat ini. Kita juga diuji apakah kita bisa saling menahan diri, saling bertenggang rasa dan saling berempati. Apakah kita bisa saling berbagi (sharing the hardship), termasuk antara pemerintah dan masyarakat. Karena negara dan pemerintah “lebih kuat” dan “lebih berkuasa”, pemerintah juga sedang diuji apakah secara moral memiliki empati yang tinggi terhadap rakyatnya.

sumber : rilis
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement