Jumat 03 Apr 2020 18:03 WIB

DPR Bahas RUU yang tidak Ada Hubungannya dengan Covid-19

DPR membahas Omnibus Law, RUU Permasyarakatan dan RKUHP saat pandemi Covid-19.

Pimpinan DPR Azis Syamsuddin (tengah) dan Rahmat Gobel (kiri) memimpin Rapat Paripurna masa persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/4/2020). Rapat mengagendakan pembahasan tindak lanjut RUU KUHP dan RUU Permasyarakatan
Foto: RAQILLA/ANTARAFOTO
Pimpinan DPR Azis Syamsuddin (tengah) dan Rahmat Gobel (kiri) memimpin Rapat Paripurna masa persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/4/2020). Rapat mengagendakan pembahasan tindak lanjut RUU KUHP dan RUU Permasyarakatan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizkyan Adiyudha, Arif Satrio Nugroho, Febrianto Adi Saputro

DPR pada Kamis (2/4) menggelar rapat paripurna Masa Sidang III tahun 2019-2020. Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, beberapa rancangan undang-undang (RUU) diputuskan untuk dilanjutkan pembahasannya oleh DPR, seperti Omnibus Law RUU Cipta Kerja, RUU Permasyarakatan, dan RKUHP.

Baca Juga

Anggota DPR yang hadir secara fisik di Ruang Paripurna, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, sebanyak 31 anggota. Sedangkan, 278 lainnya hadir secara virtual.

"Maka izinkan kami dari meja pimpinan membuka rapat dan kuorum tercapai," ujar Azis di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/4).

Azis dalam rapat itu membacakan surat presiden (surpres) terkait pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja sudah dibahas dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus). Rapat Paripurna pun menyetujui Omnibus Law RUU Cipta Kerja dilanjutkan di tingkat Badan Legislasi pada pekan depan.

Selain itu, agenda rapat paripurna adalah pengambilan keputusan terhadap Rancangan Peraturan DPR tentang Pembentukan Undang-Undang. Selanjutnya, DPR meminta persetujuan seluruh anggota terhadap tindak lanjut pembahasan RUU Pemasyarakatan dan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Kami telah menerima dan berkoordinasi dengan pimpinan Komisi III dan kami menunggu tindak lanjut dari pimpinan Komisi III yang meminta waktu satu pekan dalam rangka pengesahan untuk dibawa ke tingkat 2," ujar Azis.

Tidak semua anggota DPR atau fraksi di DPR sebenarnya setuju dengan keputusan pembahasan beberapa RUU. Partai Amanat Nasional (PAN) contohnya, meminta DPR mengedepankan pemberantasan pandemi Corona dibanding membahas Omnibus Law.

"Penyebaran virus Covid-19 harus dihadapi dengan sungguh-sungguh karena sampai saat ini penyebaran virus ini belum bisa dihentikan," kata Ketua Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay di Jakarta, Jumat (3/4).

Dia mengatakan, penderita Covid-19 saat ini tidak berkurang bahkan sebaliknya, penyebarannya cenderung masih menignkat. Menurutnya, semua pihak lebih baik mempersiapkan diri menghadapi penyebaran virus mematikan tersebut.

Saleh mengungkapkan, dalam rapat kerja gabungan secara virtual, Ketua Gugus Tugas kembali memaparkan prediksi yang disampaikan BIN belum lama ini. Dia mengatakan, dalam rapat disebutkan bahwa pada akhir April diperkirakan ada 27.307 kasus dengan puncaknya diprediksi pada akhir Juli terdapat 106.287 kasus.

"Ancaman nyata ada di depan mata kita. Karena itu, kita semua harus berkontribusi. Menangani ini tidak bisa setengah-setengah," katanya.

Dalam kaitan itu, Fraksi PAN menginginkan agar DPR fokus membantu pemerintah menangani virus corona. Dia mengatakan, ada banyak hal yang bisa dilakukan mulai dari fungsi pengawasan, budgeting dan legislasi tetap dibutuhkan.

“Sekarang tinggal menentukan skala prioritas saja. Apakah penanganan covid-19 atau pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. Silahkan masing-masing fraksi memutuskan. Kami tidak mau intervensi sikap dan pandangan fraksi lain," katanya.

Anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Aboe Bakar Al Habsyi juga menolak pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Sebab ia melihat kondisi saat ini, seharusnya membuat anggota dewan dan pemerintah fokus dalam penanganan virus Covid-19 atau corona.

"Tapi memang kondisi kita ini dalam force majeure, kondisi yang sangat emergency, yang butuh atensi masyarakat. Lucu kalau kitta sekarang ini mengangkat omnibus law ini," ujar Aboe.

Selain itu, banyak poin-poin yang kontroversial yang perlu dikaji dengan detail. Dan sejumlah pasal tak bisa diputuskan begitu saja dengan rapat virtual oleh komisi di DPR.

"Saya pikir kita perlu bersabar sedikit, untuk paling tidak kita fokus pada Covid-19 ini," ujar Aboe.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem Taufik Basari menyebut pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dapat dibahas setelah pandemi Covid-19 mereda. Ia mengklaim tidak ada target mengebut pembahasan RUU kontroversial tersebut.

"Khusus untuk RKUHP, fraksi Partai NasDem di Komisi III menghendaki agar RKUHP tidak perlu dibahas terburu-buru karena tidak memiliki urgensi dalam kaitannya dengan Covid-19," kata Taufik saat dihubungi, Jumat (3/4).

Taufik menegaskan, RKUHP bisa ditunda dahulu pembahasannya menunggu wabah Covid-19 ini reda sehingga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan. Sejak awal, kata Taufik, Fraksi NasDem menginginkan tetap ada pembahasan mendalam lagi untuk RKUHP.

Taufik juga mengatakan, Komisi III juga tidak membicarakan target penyelesaian. Sejauh ini, kata dia, yang diminta Komisi III untuk ditetapkan dalam rapat paripurna adalah agar sekadar dapat memulai pembahasan RUU.

Ia mengatakan, pembahasan RKUHP nantinya agar tidak terbatas hanya fokus pada 14 poin pasal kontroversial. Namun, menurut Taufik, perlu dipastikan lagi soal kejelasan rumusan delik, hingga mens rea yang terkandung di setiap pasal terutama pasal-pasal baru yang tidak ada di KUHP lama. Bahkan, kata dia perlu dilakukan simulasi sehingga tidak terjadi multitafsir.

"Yang ingin dicegah oleh Fraksi Partai Nasdem adalah adanya over kriminalisasi atau kriminalisasi berlebihan. Dan kepastian bahwa asas hukum terlah terpenuhi," jelasnya.

Untuk diketahui, RKUHP hampir saja disahkan pada September 2019. Namun, mahasiswa dan aliansi masyarakat menggelar demo besar - besaran RKUHP tersebut hingga akhirnya DPR menunda pengesahan RKUHP tersebut.

Perburuk dampak Covid-19

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dan sejumlah koalisi masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai langkah DPR hanya memperburuk keadaan di tengah pandemi Covid-19.

"Aliansi menilai hal tersebut tidak sepenuhnya tepat, mengingat saat ini penanganan Covid-19 haruslah menjadi prioritas utama Pemerintah dan DPR," kata Erasmus dalam keterangan tertulis, Kamis (2/4).

Erasmus menilai pengesahan RKUHP tanpa pembahasan keseluruhan justru akan menambah panjang daftar masalah yang harus diselesaikan. Ia mengimbau agar Pemerintah dan DPR menunda terlebih dahulu pembahasan RKUHP dan fokus kepada penanganan Covid-19.

"DPR seharusnya fokus melakukan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Dalam kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar ini, seharusnya DPR dan pemerintah justru memfasilitasi diskusi-diskusi online terkait dengan substansi-substansi RKUHP untuk mensosialisasikan, mendapatkan masukan, dan menjangkau pelbagai pihak dan seluas-luasnya," ujarnya.

Erasmus menegaskan pandemi seharusnya tidak boleh dijadikan kesempatan untuk mengesahkan RUU yang dinilai masih mengandung banyak permasalahan. Ia mengungkapkan, aliansi memiliki beberapa catatan terkait dengan RKUHP yang masih harus diselesaikan.

"Pertama, Pemerintah dan DPR harus kembali mengevaluasi seluruh pasal-pasal yang ada di dalam RKUHP. Depenalisasi dan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana harus digalakkan, mengingat kondisi overcrowding yang terjadi saat ini salah satunya disebabkan oleh overkriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan yang juga gagal diatasi RKUHP," ungkapnya.

Aliansi juga mencatat di dalam draf RKUHP terakhir per September 2019 lalu masih terdapat pasal bermasalah yang overkriminalisasi antara lain penghinaan presiden dan pemerintah, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi. Kemudian tindak pidana korupsi, contempt of court, makar, kriminalisasi penghinaan yang eksesif, tindak pidana terhadap agama, rumusan tindak pencabulan yang diskriminatif, tindak pidana narkotika dan pelanggaran HAM berat.

"Kedua, pembahasan RKUHP belum melibatkan lebih banyak pihak yang akan terdampak dari penegakan RKUHP nantinya. Selama ini, pembahasan hanya fokus dilakukan oleh ahli-ahli hukum pidana, tanpa mempertimbangkan pendapat dari bidang ilmu lain yang terdampak seperti bidang kesehatan, kesehatan masyarakat, kriminologi, pariwisata, dan ekonomi," jelasnya.

photo
omnibus law ciptaker - (istimewa)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement