REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, curiga penyiapan status darurat sipil yang dilakukan pemerintah bukan untuk menangani Covid-19, melainkan untuk mengawal pengesahan RUU Omnibus Law. Karena itu, publik diminta untuk terus memantau rencana pemberlakuan Darurat Sipil tersebut.
"Saya curiga ini rencana darurat sipil bukan untuk Covid-19, tapi untuk Omnibus Law dan lain-lain, memuluskan agenda investasi dan pembangunan mega proyek," ujar Asfinawati melalui pesan singkat, Kamis (2/4).
Ia menilai, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait darurat sipil tetap harus terus dipantau oleh publik. Menurutnya, Presiden tidak mungkin salah ucap ketika membicarakan hal tersebut di hadapan publik. Selain itu, darurat sipil sangat jauh sekali dari apa yang dibutuhkan dalam penanganan wabah penyakit.
"Karena darurat sipil itu jauh sekali dari masalah dan penanganan pemerintah (untuk Covid-19). Kok tiba-tiba darurat, karantina wilayah saja menolak. Darurat sipil itu untuk ancaman yang beda, perang, bencana, bukan darurat kesehatan. Enggak mungkin ahli hukum di Istana enggak paham," terangnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menjelaskan, status darurat sipil sebelumnya hanyalah sebagai opsi. Menurut dia, skenario tersebut juga harus disiapkan pemerintah jika terjadi keadaan yang abnormal. Namun, status darurat sipil belum akan diberlakukan saat ini.
“Semua skenario itu kita siapkan dari yang ringan, dari yang moderat, sedang maupun yang terburuk. Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi keadaan yang abnormal sehingga perangkat itu harus kita siapkan, tapi kalau kondisi sekarang ini tentu saja tidak,” jelas Jokowi, Selasa (31/3).
Kemudian, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyampaikan, pemerintah tidak ada rencana sama sekali untuk memberlakukan darurat sipil dalam konteks penanganan Covid-19 saat ini. Peraturan itu baru akan diberlakukan jika memang situasi dan keadaan di tengah masyarakat semakin memburuk.
"Pemerintah juga sama sekali tidak merencanakan untuk memberlakukan darurat sipil dalam konteks Covid-19," ujar Mahfud melalui rekaman video yang Republika terima, Rabu (1/4).
Mahfud menjelaskan, ketentuan darurat sipil itu terdapat pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 tahun 1959. Di dalam peraturan tersebut disebutkan, pemerintah dapat menyatakan negara dalam status darurat sipil.
"Peraturan itu sudah stand by, tapi hanya diberlakukan nanti kalau diperlukan, kalau keadaan ini menghendaki darurat sipil baru itu diberlakukan," jelas dia.
Menurutnya, untuk penanganan Covid-19 saat ini hal tersebut tidak diperlukan. Kecuali, kata dia, situasi dan keadaan semakin memburuk hingga di level amat buruk dan aturan tersebut diperlukan untuk diberlakukan, maka barulah akan digunakan.
"Kecuali perkembangan keadaan menjadi lebih sangat buruk dan menghendaki itu. Baru itu nanti dihidupkan, digunakan karena memang UU itu sudah hidup sejak tahun 59 sampai sekarang," tutur dia.