REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil menilai kebijakan darurat sipil dalam penanganan Covid-19 di Indonesia bersifat represif. Itu karena kebijakan tersebut memberi wewenang yang sangat besar kepada penguasa darurat sipil.
"Darurat sipil bersifat represif karena memberi wewenang sangat besar kepada penguasa darurat sipil," ujar salah satu perwakilan koalisi masyarakat sipil, Ketua YLBHI Asfinawati, saat dikonfirmasi, Selasa (31/3).
Asfinawati menjelaskan, situasi darurat sipil dipimpin oleh penguasa darurat sipil, yaitu Presiden dengan dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari sejumlah menteri dan para pimpinan aparat keamanan. Menurut koalisi masyarakat sipil, wewenang yang sangat besar itu terlihat dari beberapa pasal yang mengatur tentang darurat sipil yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23/1959.
Setidaknya ada lima pasal yang disebutkan, yakni Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), dan Pasal 20. Pasal 17 ayat (1) misalnya, di sana dijelaskan, penguasa darurat sipil dapat mengetahui semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telepon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telepon atau radio.
Koalisi masyarakat sipil juga menilai, negara terlepas dari kewajiban hukum menjamin hak-hak dasar masyarakat saat Darurat Sipil diterapkan. Berbeda jika pemerintah mengeluarkan penetapan bencana, yang diatur dalam Pasal 8 UU No. 24/2007, dan penetapan darurat kesehatan masyarakat, di mana negara terikat kewajiban hukum untuk menjamin ketersediaan sumber daya yang diperlukan.
"Penetapan darurat sipil justru membahayakan keamanan dan kesehatan warga. Dalam beberapa kasus, sudah terjadi penangkapan penyebaran hoaks. Tindakan ini justru menempatkan mereka yang ditangkap dalam kumpulan orang dan tidak menerapkan pembatasan jarak fisik," katanya.
Di samping itu, darurat sipil hanya bisa diberlakukan jika beberapa situasi keadaan bahaya terjadi. Situasi keadaan bahaya pertama, yakni keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan, atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
Keadaan bahaya kedua, timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan di wilayah Indonesia dengan cara apa pun juga. Ketiga, hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
"Tidak ada satu pun alasan yang diberikan Perppu 23/1959 terpenuhi. Bencana yang terjadi bukan bencana alam dan hidup negara tidak dalam keadaan bahaya. Hidup rakyat Indonesialah yang berada dalam bahaya!" jelas Asfinawati.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjelaskan, status darurat sipil hanyalah sebagai opsi. Menurut dia, skenario tersebut juga harus disiapkan pemerintah jika terjadi keadaan yang abnormal. Saat ini, pemerintah masih menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
“Semua skenario itu kita siapkan dari yang ringan, dari yang moderat, sedang maupun yang terburuk. Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi keadaan yang abnormal sehingga perangkat itu harus kita siapkan, tapi kalau kondisi sekarang ini tentu saja tidak,” jelas Jokowi, Selasa (31/3).