REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR RI mempertanyakan sejumlah kematian narapidana (napi) penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) saat Rapat Kerja dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (25/2).
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafi'i mengungkapkan, data mengejutkan bahwa tercatat ada sembilan orang terpidana kasus terorisme meninggal dunia di Lapas berkategori risiko besar (high risk).
"Terpidana terorisme meninggal di Lembaga Pemasyarakatan High Risk tercatat kurang lebih sembilan orang," ujar Syafi'i kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Adapun sembilan terpidana meninggal di Lapas High Risk yang dimaksud antara lain;
1. Muhammad Basri asal Makassar, wafat 7 Juli 2018 (Lapas Pasir Putih - Nusa Kambangan)
2. Yasser bin Thamrin asal Bima, wafat 19 Juli 2018 (Rumah Tahanan (Rutan) Gunung Sindur)
3. Sunardi alias Abu Anah asal Jambi, wafat 22 Juli 2018 (Rutan Gunung Sindur)
4. Muhammad Irsan asal Toli-Toli, wafat 12 Agustus 2018 (Lapas Batu - Nusakambangan)
5. M. Lutfianto asal Probolinggo, wafat 17 Agustus 2018 (Rutan Gunung Sindur)
6. Windoro asal Karanganyar, wafat 21 September 2018 (Lapas Batu - Nusakambangan)
7. Bakri asal Makassar, wafat 30 September 2018 (Rutan Gunung Sindur)
8. Rifaat Al-Barki asal Padang, wafat 20 Januari 2020 (Rutan Gunung Sindur)
9. Romi Andika asal Padang, wafat 13 Februari 2020 (Rutan Gunung Sindur)
"Saya minta penjelasan kematian mereka ini. Lalu diperlakukan seperti apa," kata Syafi'i.
Anggota DPR RI dari fraksi Partai Gerindra itu pun mengadukan keluhan yang masuk hasil kunjungannya ke sejumlah Rutan selama ini ke Yasonna.
"Pak Menteri, ada keluhan ya. Pertama gangguan sistem pencernaan, gangguan sistem pernapasan, rasa sakit pada kaki yang pada umumnya terlihat bengkak di kaki, rasa kebas di kaki di bagian bawah, bahkan beberapa di antara mereka ke persidangan itu dipapah karena sudah lumpuh, kerusakan kulit," ujar Syafi'i.
Syafi'i pun mengaku sudah bertanya ke pihak Nusakambangan, perihal fasilitas kesehatan yang dimiliki Lapas High Risk untuk para warga binaannya itu. Namun, ia mengaku tidak menemukan jawaban yang memuaskan.
"Di sana jangankan rumah sakit, klinik pun enggak ada di areal 21.600 hektare Nusakambangan itu," kata Syafi'i.
Menurut Syafi'i, terpidana juga harus dilindungi negara karena mereka adalah Warga Negara Indonesia yang sedang dibina Lapas agar dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat. "Berarti itu tanggung jawab kita untuk bisa mengembalikan mereka ke dalam kehidupan masyarakat," kata Syafi'i.