REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak menutup kemungkinan menerapkan pidana korporasi terhadap sejumlah perusahaan yang terlibat dalam korupsi dan pencucian uang (TPPU) PT Asuransi Jiwasraya. Penerapan pidana terhadap korporasi memungkinkan karena tiga tersangka sementara ini, adalah pemilik perusahaan yang dituding menjadi sarana TPPU dari hasil korupsi Jiwasraya.
Namun, Kepala Pusat Pusat Penerangan dan Hukum (Kepuspenkum) Kejakgung, Hari Setiyono mengatakan, sampai saat ini, tim penyidikan di Direktorat Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung, masih fokus pada perbuatan pidana yang dilakukan terhadap para pelaku individu.
“Kita lihat nanti perkembangan (penyidikannya). Kalau memang terbukti bahwa korporasi digunakan sebagai alat (korupsi dan TPPU), maka tentau tidak menutup kemungkinan korporasi bisa jadi tersangka,” terang dia di Gedung Pidsus Kejakgung, Rabu (19/2).
Menurut Hari, menengok riwayat penanganan banyak kasus, memang pemidanaan korporasi dapat dilakukan. Terutama dalam dugaan korupsi dan TPPU ataupun tindak pidana lain.
Dalam pengungkapan Jiwasraya, pun tampak terang adanya dugaan hasil dugaan korupsi yang disamarkan, ke dalam bentuk kepemilikan saham beberapa perusahaan. Akan tetapi, sementara ini, kata Hari, penyidikan Jiwasraya, belum mengarah ke ancaman pidana korporasi.
Meskipun, kata Hari, tiga dari enam tersangka saat ini, merupakan pebisnis yang memiliki perusahaan besar. “Sementara ini, yang bersangkutan (para tersangka) masih pribadi. Tiga tersangka itu masih pribadi. Tetapi, nanti akan terlacak ke mana sih larinya uang (dugaan korupsi dan TPPU) ini,” terang Hari.
Penyidikan Jiwasraya di Kejakgung sementara ini, sudah menetapkan enam tersangka. Tiga di antaranya, dari kalangan pebisnis. Yakni tersangka Benny Tjokrosaputro yang diketahui sebagai Komisaris PT Hanson Internasional (MYRX), dan tersangka Heru Hidayat yang teridentifikasi sebagai Komisaris PT Trada Alam Minera (TRAM), serta satu tersangka Joko Hartono Tirto, selaku Direktur Utama PT Maxima Integra (MIG).
Tiga tersangka lainnya, para mantan petinggi Jiwasraya. Yakni, eks Direktur Utama Hendrisman Rahim, dan eks Direktur Keuangan dan Investasi Harry Prasetyo, serta Syahmirwan yang diketahui sebagai mantan Kepala Divisi Investasi Jiwasraya. Enam tersangka tersebut, sementara ini dalam tahanan.
Keenamnya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU 20/2001. Khusus tersangka Benny dan Heru, keduanya juga dijerat sangkaan tambahan dalam Pasal 3, 4, atau 5, UU TPPU 8/2010. Dari pasal sangkaan itu, penyidik memang belum menjerat korporasi. Terutama terhadap perusahaan tersangka Benny, Heru, dan Joko yang diketahui sebagai pemimpin perusahaan yang menerima aliran uang investasi dari pengalihan dana asuransi Jiwasraya. Padahal, penerapan Pasal 6 TPPU yang mengatur tentang korporasi terbukti terlibat dapat diterapkan.
Akan tetapi, Hari menerangkan, jeratan terhadap korporasi, baru dapat dilakukan jika pidana pokoknya, korupsi dan TPPU sudah terbukti. “Nanti akan tetap dilacak. Karena TPPU itu kan menyembunyikan hasil kejahatannya. Apakah hanya masuk ke pribadi, atau masuk ke korporasi. Kalau memang masuk ke korporasi, tetap harus dibuka,” terang Hari.
Dugaan korupsi dan TPPU Jiwasraya, diyakini Kejakgung merugikan keuangan negara sebesar Rp 17 triliun. Sementara menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), potensi kerugian negara dari gagal bayar klaim asuransi JS Saving Plan Jiwasraya, senilai Rp 13,7 triliun. Dugaan korupsi dan TPPU Jiwasraya, menurut BPK, juga memaksa perusahaan asuransi milik negara tersebut, mengalami defisit keuangan mencapai Rp 27,2 triliun.