REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya, mengatakan, organisasi yang didirikan sebagai amanat UU Pers itu tidak dilibatkan dalam penyusunan rancangan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Padahal, rancangan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sudah diserahkan pemerintah kepada DPR juga mengatur terkait kebebasan pers.
"Alhamdulillah kami belum pernah dilibatkan berkaitan dengan hal ini," kata dia, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (18/2).
Selama ini, kebijakan terkait pers ditentukan sendiri oleh unsur-unsur pers yang kemudian diakomodasi pemerintah dan DPR sehingga adanya pengaturan pers oleh pembuat undang-undang justru dinilainya sebagai sebuah kemunduran. Selanjutnya, dia meminta pemerintah melibatkan Dewan Pers serta organisasi pers dalam pembahasan rancangan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang beririsan dengan pers.
"UU Pers ini undang-undang yang tersendiri, kalau sampai kemudian tidak melibatkan komunitas pers bisa jadi aneh juga," ucap dia.
Dalam kesempatan sama, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan, mengaku tidak dilibatkan juga oleh pemerintah dalam membahas rancangan Omnibus Law.
"Kalau dari perspektif organisasi wartawan, kami menganggap Omnibus Law yang soal pers ini, yang berkaitan dengan administratif, kami tidak pernah diajak bicara," ujar Manan.
Ia menilai dengan memasukkan revisi pasal untuk penjabaran sanksi menunjukkan pemerintah ingin campur tangan terhadap.pers yang selama ini mengatur dirinya sendiri. Ikut campurnya pemerintah dikhawatirkan AJI mengembalikan hal buruk di masa Orde Baru saat pemerintah menggunakan dalih administratif untuk mengekang pers.
"Untuk itu, kami meminta revisi pasal ini dicabut," ucap dia.
Pasal dalam rancangan Omnibus Law yang diminta dicabut adalah Pasal 11 yang berkaitan dengan modal perusahaan pers dan Pasal 18 tentang naiknya besaran denda bagi perusahaan media hingga empat kali lipat.