Selasa 18 Feb 2020 16:34 WIB

Dalih Salah Tik RUU Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Ganjil

Pakar menilai biasanya salah tik itu huruf, bukan pada konteks.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Teguh Firmansyah
DPR resmi menerima naskah omnibus law cipta kerja dari pemerintah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
DPR resmi menerima naskah omnibus law cipta kerja dari pemerintah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menyatakan adanya salah tik dalam pengetikan Pasal 170 Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang memperbolehkan Presiden mengubah Undang-Undang dengan mekanisme Peraturan Pemerintah (PP).

Sejumlah pihak meragukan dalih yang disampaikan pemerintah. Bahkan, klarifikasi pemerintah dianggap lucu.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, klarifikasi pemerintah yang menyebut Pasal 170 merupakan salah tik aneh. Pasalnya, pasal itu terdiri dari tiga ayat yang isinya terkait satu sama lain.

"Saya bilang aneh saja. Karena salah ketik itu biasanya, yaa satu ayat okelah salah ketik," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (18/2).

"Tapi kalau salah ketiknya satu pasal dan sistematis, itu kan aneh. Sistematis itu kan terkait satu sama lain. Berarti, kan tidak seperti salah ketik. Bagi saya sih itu tidak salah ketik, tapi dicoba-coba tapi gagal," ujarnya lagi.

Bila poin dalam pasal 170 dalam draf yang diserahkan pemerintah itu benar-benar menjadi maksud dari pemerintah, Erasmus menilai, hal ini bak memberikan kuasa absolut pada Presiden Joko Widodo. Presiden dapat mengubah undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan pusat.

"Itu kan seperti ngasih cek kosong ke Presiden. Cek kosong dalam artian dia bisa nulis (hukum) apa saja,\" ujar dia.

Pemerintah mengklaim, seharusnya frasa Peraturan Pemerintah (PP) yang tercantum dalam pasal tersebut adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang memiliki kewenangan mengganti Undang - Undang (UU).

Dalih itu pun dinilai Erasmus tetap tak masuk akal. Pasalnya, Perppu hanya bisa diterbitkan dalam keadaan tertentu yang memenuhi, misalnya kekosongan hukum.

"Masa Perppu direncanakan? kalau Perppu direncanakan ya namanya undang-undang. Perppu itu kan kalau melewati threshold (syarat) tertentu, seperti ada kekosongan hukum, atau keadaan tertentu. Kalau sudah tau ada kekosongan hukum misalnya, ya ngapain mengundangkan Perppu. Bikin saja undang-undang," papar Erasmus.

Salah konsepsi

Sementara Pakar Hukum Tata Negara dari Jentera Law School Bivitri Susanti juga meragukan klaim pemerintah soal salah tik dalam penulisan Pasal 107 itu. Ia menilai, ada kesalahan konsepsi di pihak pemerintah yang menyusun pasal tersebut.

"Kalau diperhatikan, salah tik itu kan misalnya i jadi o gitu ya, itu salah ketik satu huruf atau satu kata. Tapi kalau satu pasal begitu, itu bukan salah ketik, tetapi ada kesalahan konsepsi," kata Bivitri pada Republika.co.id, Selasa (18/2).

Poin yang termuat dalam pasal 170 draf RUU menabrak sistem perundang-undangan yang ada di dalam konstitusi UUD 1945. Tatanan hierarki perundang-undangan yakni UUD 1945, Tap MPR, UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.

Pasal 170 yang termuat dalam RUU Cipta Kerja juga menabrak UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah menjadi UU Nomor 15 Tahun 2019.

"Itu adalah pasal inkonstitusional sebetulnya.Jadi tidak boleh di bawah mengubah undang-undang yang ada di atasnya, jadi mesti di-delete memang, kalau tidak didelete, maka nanti pasti akan dinyatakan MK inkonstitusional, karena itu memang inkonstitusional," ucap Bivitri.

Bivitri pun berpandangan, bila memang RUU Cipta Kerja ini diteruskan untuk dibahas di DPR, maka pasal tersebut harus dicabut demi hukum. Bahkan, jika memungkinkan, Bivitri menyarankan agar draf RUU Cipta Kerja dicabut dan dibahas ulang secara komprehensif oleh pemerintah.

Draf RUU Cipta Kerja BAB XIII tentang Ketentuan Lain - lain, Pasal 170 ayat 1 berbunyi

"Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.

Ayat kedua kemudian menjelaskan, perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat satu diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Selanjutnya, pada ayat 3, dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.

Dalam pernyataan terakhir, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut, pasti ada kesalahan jika memang ada aturan yang menyebut UU bisa diganti dengan PP di Rancangan UU (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Ia mengatakan, kesalahan itu bisa diperbaiki dalam proses pembahasan ke depan. "Itu pasti salah dari ilmu perundang-undangan. Itu bisa diperbaiki dalam proses pembahasan ke depan," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement