Selasa 18 Feb 2020 09:57 WIB

Salah Ketik Penulisan Draft Omnibus Law Cipta Kerja

Omnibus law Cipta Kerja diduga pangkas kewenangan DPR.

Ribuan buruh dari KSPSI melakukan unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen RI, Jalan Gatot Subroto di hari yang sama Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja pada Rabu (12/2).
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Ribuan buruh dari KSPSI melakukan unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen RI, Jalan Gatot Subroto di hari yang sama Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja pada Rabu (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasal 170 Ayat (1) Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja diduga untuk memangkas kewenangan legislatif DPR. Dalam pasal itu disebutkan, Presiden akan diberi kewenangan mengubah UU lewat Peraturan Pemerintah (PP).

Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menegaskan hal tersebut tak dapat dilakukan. "Nggak bisa ini, nggak bisa. Secara hukum normatif, PP nggak bisa ubah undang-undang," kata Azis menegaskan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/2).

Baca Juga

Ia menjelaskan, PP tidak bisa digunakan untuk mengganti ketentuan dalam undang-undang. Azis menyinyalir, adanya kesalahan tik dalam pasal yang tertuang dalam rancangan undang-undang tersebut. "Tapi, kalau dengan perppu kan bisa, mungkin itu salah ketik kali. Kan bisa saja," ujar Azis.

DPR akan segera melakukan konfirmasi kepada pemerintah jika memang hal tersebut merupakan salah tik. Sebab, saat ini RUU Cipta Kerja masih dalam proses administrasi di Sekretaris Jenderal DPR.

"Nanti dalam pembahasan aja, dalam pembahasan kan bisa dibahas. Kan ini bukan rigid, paten, masih dimungkinkan dilakukan perubahan," ujar Azis. Wakil Ketua MPR Syarief Hasan juga mengingatkan pemerintah agar tak memangkas kewenangan DPR dalam membuat undang-undang. "Hak melakukan legislasi itu kan ada di DPR," kata Syarief Hasan.

Syarief menegaskan, selama ini DPR memiliki tiga fungsi. Tiga fungsi itu adalah memuat perencanaan anggaran, membuat aturan, serta melakukan pengawasan. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur bahwa pembuatan UU dilakukan oleh pemerintah dan DPR. “Budgeting (penganggaran), legislasi (membuat UU), pengawasan. Jadi, itu prinsipnya, itu di undang-undang," ujarnya.

Menurut dia, Omnibus Law Cipta Kerja saat ini baru mulai dibahas setelah diterima DPR RI dari pemerintah pada Rabu (12/2) lalu. Meski mengaku belum secara perinci mengetahui poin-poin yang diusulkan pemerintah dalam draf Omnibus Law, ia berharap nantinya RUU ini tidak memangkas kewenangan legislatif yang selama ini dipegang oleh DPR RI. "Kita lihat saja nanti hasil (pembahasan)-nya. Tetapi, jangan mengeliminasi fungsi DPR," kata Syarief.

photo
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kelima kiri) didampingi Menteri BPN Sofyan Djalil (kiri), Menkum HAM Yasonna Laoly (kedua kiri), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (ketiga kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyerahkan surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani (ketiga kanan), Aziz Syamsuddin (kedua kiri) dan Rachmat Gobel (tengah) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pada prinsipnya UU tidak bisa diganti lewat peraturan pemerintah (PP) ataupun peraturan presiden (perpres). Menurut Mahfud, jika aturan terkait itu ada di dalam Omnibus Law Cipta Kerja, kemungkinan terjadi salah ketik.

"Isi UU diganti dengan PP, diganti dengan perpres itu tidak bisa. Mungkin itu (Pasal 170 Bab XIII Omnibus Law Cipta Kerja) keliru ketik," ujar Mahfud seusai melakukan kegiatan di Universitas Indonesia, Depok, Senin (17/2).

Menko Polhukam mengatakan, tidak mengetahui aturan tersebut tercantum dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Menurutnya, kalau memang pasal tersebut ada, sebaiknya disampaikan ke DPR dalam proses pembahasan ke depan.

Ia menjelaskan, produk peraturan yang dibuat pemerintah dan dapat mengganti UU adalah peraturan pemerintah pengganti UU (perppu). "Prinsipnya begini, prinsipnya tak bisa sebuah UU diubah dengan PP atau perpres. Kalau dengan perppu, bisa," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu menegaskan.

Sentralistis

Selain pasal untuk memangkas kewenangan DPR, dalam draf Omnibus Law juga dikhawatirkan memangkas kewenangan pemerintah daerah. Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai RUU Cipta Kerja kental nuansa sentralistis daripada semangat otonomi daerah. Ia menuturkan, jika Presiden ingin menyelaraskan tujuan pemerintah pusat dengan kepala daerah, dapat dilakukan dengan cara konstitusional.

"Semangat agar kepala daerah searah dengan pemerintahan pusat dapat dilakukan dengan cara-cara lebih konstitusional, misalnya dalam penentuan kebijakan nasional," ujar Feri. Dalam Pasal 162-166 draf RUU Cipta Kerja yang dikirimkan pemerintah pusat ke DPR RI pada Rabu (12/2), presiden memiliki kewenangan melaksanakan urusan pemerintahan daerah.

Namun, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) membantah draf RUU Cipta Kerja merupakan sentralisasi kekuasaan. Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono mengeklaim, RUU tersebut telah mempertimbangkan prinsip-prinsip desentralisasi.

"Kita ingin mengatur bahwa setiap layanan perizinan yang diselenggarakan oleh kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia harus sesuai dengan standar layanan yang telah kita tetapkan,” kata Susiwijono. N ronggo astungkoro/arif satrio nugroho/nawir arsyad akbar/mimi kartika, ed: agus raharjo

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement