Kamis 13 Feb 2020 11:42 WIB

Pasien Telantar, Ah… Lagu Lama

Kasus pasien telantar banyak terjadi, tapi tidak terungkap ke publik.

Mursalin Yasland
Foto: Dok. Istimewa
Mursalin Yasland

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mursalin Yasland*)

Lili Ansori dan Meliana, tak mungkin ujuk-ujuk mengamuk, marah-marah, dan berteriak di RSUD Abdul Moeloek Lampung. Reaksi spontan bapak dan ibu kandung korban, sesaat meninggalnya pasien BPJS Rezki Meidiansori (21 tahun) pasti ada penyebabnya.

Video berdurasi 6,09 menit yang beredar di media sosial dan ditindaklanjuti media pers, sehari setelah kejadian Senin (10/2) petang, membuat kasus pasien BPJS didagnosis demam berdarah diduga telantar di selasar RSUD Abdul Moeloek Lampung tersebut mencuat lagi dan menjadi pembicaraan publik.

Telantar berarti terbengkalai atau tak diurus. Kata telantar ini menjadi diksi menakutkan dan momok bagi pengelola semua fasilitas kesehatan (faskes) seperti rumah sakit umum. Mereka alergi dengan istilah pasien telantar, apalagi pasien tersebut sampai cacat tetap dan meninggal dunia karena sebab malapraktik atau malaadministrasi.

Kasus seperti ini terus berulang dan terus terjadi di semua faskes. Kemunculan kasus pasien BPJS Rezki ini, membuka mata kita lagi bahwa masih terjadi kasus pasien telantar. Padahal, secara kasat mata bila kita perhatikan selama berada di puskesmas dan rumah sakit, betapa banyak kejadian serupa tidak terungkap di media sosial dan media pers.

Saya jadi teringat kasus paramedis RSUD A Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung membuang seorang pasien kakek-kakek yang disabilitas Suparman (63 tahun) pada tahun 2014. Sudah kualahan merawat pasien limpahan Dinas Sosial tersebut, solusi terakhirnya membuangnya di sebuah gubuk jualan duren di Sukadanaham, Bandar Lampung menggunakan mobil ambulans rumah sakit. Setelah kakek itu ditemukan warga dalam kondisi meninggal, enam tersangka telah diproses dan dijatuhi hukuman. Tapi, sayangnya petinggi rumah sakit aman.

Kasus lagi menimpa seorang ibu Delvasari (35 tahun), yang harus menggendong bayinya yang meninggal naik angkot ke terminal induk Rajabasa untuk menuju rumah di kampungnya Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara, karena tidak sanggup menyewa ambulans RSUD Abdul Moeloek Lampung. Peristiwa pada tahun 2017 tersebut sempat gempar di Lampung, lantaran petugas mobil ambulans menawarkan jasa ambulans dengan imbalan sewa selangit Rp 2 juta.

Baru-baru ini, saat saya menjenguk seorang pasien didiagnosis tipes di sebuah ruang Kelas I RSUD Abdul Moeloek Lampung, terungkap bahwa dia kasarnya mau “diusir” ke kelas III karena dinilai tidak sanggup bayar.

 

Padahal, setelah dipindah dari perawatan kelas III menggunakan fasilitas gratis dari Pemkot Bandar Lampung ke kelas I menjadi pasien umum atas jaminan kawannya yang tidak tega melihat perawatan di kelas III. Pengelola ruangan tidak yakin, ia mampu membayar. Tindakan perawat yang akan mengusirnya tadi justru menambah beban penyakitnya.

Seorang pasien ibu-ibu baru melahirkan bayi, harus dirawat di RS Bumi Waras Bandar Lampung karena terjadi infeksi di dalam perutnya. Kejadian ini nyata dari pandangan saya, setelah masuk ruangan, selama dua kali 24 jam tidak ada penanganan dokter dan perawat. Sang dokter tidak kunjung datang tanpa sebab, sedangkan perawat tidak dapat bertindak sebelum atas perintah dokter tersebut. Padahal, pasien ibu ini sudah harus segera diambil tindakan medis karena baru melahirkan dan terpaksa memisahkan dengan anaknya khawatir tertular bila menyusui.

Kasus-kasus pasien telantar ini lagu lama dirilis lagi. Banyak terjadi di rumah sakit dan faskes lainnya yang tidak terungkap di media pers maupun media sosial. Sudah bukan rahasia lagi, perawat jaga malam sering molor, sehingga infus pasien kebablasan. Keluarga pasien yang menunggu diusir, tapi perawat jaga malam tidur. Ironis dan kontradiksi.

Kita berterima kasih dan sekaligus turut berbela sungkawa kepada keluarga Lili Ansori atas meninggal anaknya. Kasus ini setidaknya mengingatkan kita lagi bahwa hal tersebut ternyata masih terjadi. Jangan menganggap bila tidak ada berita atau keluhan di media sosial, berarti pelayanan rumah sakit atau faskes lainnya sudah maksimal. Namanya, pelayanan publik, jelas berhadapan dengan publik yang beragam asal dan karakternya tentu ada singgungannya.

Terungkap kasus pasien Rezki ini, sebenarnya kasus lama semua pihak membela diri. Pihak RSUD Abdul Moeloek keesokan harinya melakukan penelusuran dan membuat klarifikasi. Intinya, Kemenkes dan RSUD membantah pembiaran atau penelantaran pasien tersebut. Mereka menyatakan, telah melaksanakan istilah rumah sakitnya tatalaksana atau SOP kepada pasien rujukan tersebut.

BPJS Cabang Bandar Lampung turun ke RSUD Abdul Moeloek, karena pasien BPJS diduga telantar tidak ada pelayanan kesehatan. Padahal, BPJS telah menjamin peserta BPJS berobat berdasarkan ketentuan, tetapi terjadi dugaan penelantaran. BPJS telah mendatangi keluarga pasien untuk mengkroscek temuan di rumah sakit. Ombudsman RI Perwakilan Lampung telah meminta RSUD Abdul Moeloek segera menjelaskan kepada publika, dan meminta Pemprov Lampung menuntaskan kasus ini dalam dua pekan.

Kita tunggu saja apa hasil evaluasi dan sanksi dari Pemprov Lampung selaku atasan RSUD Abdul Moeloek. Bila benar faktanya terjadi pembiaran atau penelantaran pasien BPJS tersebut, tentu ada sanksi tegas. Semua pihak harus mengawal, agar kasus ini tidak menguap dan muncul lagi setelah ada kasus baru.

*) penulis adalah jurnalis republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement