Rabu 12 Feb 2020 14:47 WIB

Teliti Melihat Wacana Pemulangan Anak Eks ISIS

Masyarakat juga harus dipersiapkan menerima kepulangan anak eks ISIS.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengaku masih harus membahas kemungkinan memulangkan anak-anak eks ISIS ke Indonesia.
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengaku masih harus membahas kemungkinan memulangkan anak-anak eks ISIS ke Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Muhyiddin, Antara

Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk tidak memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI) eks kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Keputusan pemerintah pun menuai pro dan kontra, terutama terhadap nasib anak-anak yang turut dibawa atau dilahirkan orang tuanya di Suriah sana.

Baca Juga

Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk tidak memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI) eks kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Keputusan pemerintah pun menuai pro dan kontra, terutama terhadap nasib anak-anak yang turut dibawa atau dilahirkan orang tuanya di Suriah sana.

Perempuan dan anak asal Indonesia yang sebelumnya menjadi pengikut ISIS harus mendapatkan perlindungan khusus jika dipulangkan ke Tanah Air. Sebab, nanti terkait dengan stigma-stigma masyarakat yang ditempelkan kepada perempuan dan anak-anak ini.

"Apalagi anak-anak ini masa depannya masih panjang," kata Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak Kabupaten Banyumas Tri Wuryaningsih, di Purwokerto.

Dalam hal ini, kata dia, anak-anak eks ISIS tersebut membutuhkan lingkungan yang mendukung untuk tumbuh kembang secara optimal sehingga dapat tumbuh menjadi seperti anak-anak yang lain. Dengan demikian, lanjut dia, anak-anak tersebut bisa bersekolah dan tinggal di lingkungan dengan nyaman.

"Ini bagaimana kemudian pemerintah perlu melakukan upaya-upaya penanganan khusus, mungkin melalui tenaga-tenaga psikolog untuk memberikan penguatan, motivasi, pendidikan juga kepada masyarakat di sekitar karena berkaitan dengan rehabilitasi," kata Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Setelah dipulangkan ke Tanah Air, kata dia, anak-anak itu akan tinggal di lingkungan masyarakat. Karena itu, lanjut dia, masyarakat juga harus diberikan pemahaman yang cukup terkait dengan mantan pengikut ISIS tersebut.

Dia mengharapkan masyarakat tidak memberikan stigma, tetapi justru ikut membantu supaya mantan ISIS itu bisa hidup di lingkungan secara nyaman dan kemudian tidak terprovokasi oleh gerakan-gerakan seperti ISIS lagi.

Terkait dengan upaya deradikalisasi terhadap para mantan pengikut ISIS, perempuan yang akrab disapa Triwur itu mengatakan upaya tersebut perlu dibedakan antara anak-anak dan dewasa melalui sentuhan-sentuhan atau pendekatan-pendekatan tertentu. "Apalagi untuk anak-anak harus bisa dibedakan dengan orang dewasa karena memang dia mungkin tidak paham, tetapi dia akan mendapatkan dampak dari, misalnya stigma-stigma yang diberikan oleh masyarakat kepada anak tersebut," katanya pula.

Menurut dia, anak-anak tersebut sebetulnya tidak tahu apa-apa, sehingga mereka hanya korban karena terpaksa harus ikut orang tuanya. "Ini yang butuh penguatan-penguatan secara mental dan motivasi dari tenaga-tenaga psikolog mestinya," kata dia menegaskan.

Program Deradikalisasi

Pemerintah sebenarnya masih mempertimbangkan untuk memulangkan anak-anak WNI eks ISIS yang berusia di bawah usia 10 tahun. Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, pemerintah akan melakukan program kontra radikalisasi terhadap anak-anak WNI eks ISIS jika dipulangkan ke Tanah Air nanti.  

"Kalau anak-anak itu bukan deradikalisasi karena belum terpapar. Kalau umur 10 tahun belum ngerti, tapi istilah UU di-kontra radikalisasi. Kalau sudah terpapar atau terpidana itu deradikalisasi. Kalau anak-anak itu kontra (radikalisasi)," ujar Mahfud di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (12/2).

Mahfud MD, menyampaikan sebanyak 689 WNI teridentifikasi bergabung sebagai teroris lintas batas di berbagai negara di Timur Tengah, seperti Suriah dan Turki. Mahfud mengkhawatirkan, WNI eks ISIS tersebut justru akan membawa virus baru di Indonesia jika dipulangkan. Sehingga pemerintah memutuskan tak akan memulangkan para WNI mantan teroris tersebut.

"Bahkan, tidak akan memulangkan foreign terorist fighters ke Indonesia. Meski begitu, pemerintah juga akan menghimpun data yang lebih valid tentang jumlah dan identitas tentang orang-orang yang dianggap terlibat bergabung dengan ISIS," kata Mahfud.

Berdasarkan data dari CIA, terdapat 228 dari 689 WNI yang memiliki identitas. "Sisanya 401 tidak teridentifikasi. Sementara dari ICRP ada 185 orang. Mungkin 185 orang itu sudah jadi bagian dari 689 dari CIA. Kita juga punya data-data sendiri," ujar Mahfud.

Mahfud MD menyebutkan WNI yang pernah menjadi teroris atau mantan kombatan ISIS di Suriah tidak mengakui dirinya sebagai WNI. Ia mengatakan bahwa eks kombatan ISIS asal Indonesia itu selalu menghindar, bahkan tak mengakui dirinya lagi sebagai WNI. "Ya, mereka kan tidak mengakui sebagai WNI," katanya.

Menurut dia, WNI eks simpatisan ISIS itu tidak pernah berkomunikasi dengan pemerintah. Keberadaan mereka di luar negeri justru ditemukan pihak luar.

"Mereka kan tidak lapor. Hanya ditemukan oleh orang luar. Yang menemukan kan CIA, ICRC, (berkata) ini ada orang Indonesia. Kita juga tidak tahu apanya. Paspornya sudah dibakar, terus mau diapakan. Kalau kamu jadi pemerintah mau diapakan kira-kira? Tidak bisa kan. Ya, dibiarkan saja. Tidak bisa dipulangkan," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Mahfud mengatakan bahwa para mantan kombatan tersebut menghindar dari pemerintah dan tidak pernah menampakkan diri meski pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) telah mendatangi Suriah.

"Sudah, sudah mengirim. BNPT sudah ke sana, kita sudah ke sana. Hanya ketemu sumber-sumber otoritas resmi saja. Di situ ada ini katanya. Akan tetapi, orangnya tidak pernah menampakkan juga," kata Mahfud menjelaskan.

Selain itu, dia membantah kabar yang menyebut bahwa eks kombatan ISIS asal Indonesia tersebut minta dipulangkan. "Iya, mereka kan tidak pernah menampakkan diri. Paspornya dibakar. Itu kan hanya laporan. Bahwa ada itu. Lalu ada isu-isu mereka ingin pulang. Siapa, tidak ada. Minta pulang ke siapa, itu laporan, kok. Laporan," kata Mahfud.

Pengamat politik Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, mengingatkan kepada pemerintah agar tetap berhati-hati untuk memulangkan anak-anak warga negara Indonesia (WNI) yang teridentifikasi sebagai mantan anggota ISIS di lintas batas di Timur Tengah. Menurut dia, atas dasar kemanusiaan pemerintah memang perlu mempertimbangkan untuk memulangkan anak-anak WNI eks ISIS. Namun, menurut dia, faktanya tidak sedikit anak-anak berusia 11 tahun yang terlibat dalam gerakan teror.

"Yang menjadi masalah krusial adalah kalau anak-anak ini atas dasar kemanusiaan. Tapi juga harus hati-hati karena anak-anak usia 11 tahun karena banyak yang terlibat di dalam gerakan teror," ujar Karyono.

Dia mengatakan, anak-anak WNI eks ISIS tersebut sudah didoktrin secara ideologi. Karena itu, menurut dia, pemerintah jangan hanya melihat dari aspek kemanusiaan, tapi juga harus melihat faktor keamanan warga Indonesia.

"Jangan hanya melihat dari faktor oh ini anak-anak. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang terlibat di dalam aksi teror itu, di luar negeri maupun di luar negeri," ucapnya.

photo
Infografis ISIS

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement