Selasa 11 Feb 2020 18:05 WIB

BKKBN: Hanya ada 23.500 Penyuluh KB untuk 80 Ribu Desa

Anggaran untuk penyediaan alat kontrasepsi saat ini hanya Rp 400 miliar.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Agus Yulianto
Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Nofrijal (tengah).
Foto: Antara/Adiwinata Solihin
Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Nofrijal (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut penyuluh Keluarga Berencana (KB) saat ini hanya ada 23.500 orang untuk 80 ribu desa. Dampaknya, tidak semua daerah mendapatkan penyuluhan KB. Hal ini membuat beberapa daerah tidak mengerti untuk menggunakan alat kontrasepsi. 

“23.500 penyuluh yang ada, tidak memenuhi semua di daerah. Di antaranya 14.500 dengan status PNS dan 9.000 statusnya tenaga honorer," kata Sekretaris Utama BKKBN H. Nofrijal di Auditorium Kantor BKKBN Pusat, Jakarta Timur (11/2). 

Apalagi, di Indonesia bagian timur seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Papua hanya ada satu penyuluh untuk 25 desa. Padahal, adanya penyuluh KB itu penting agar masyarakat menggunakan alat kontrasepsi dan tidak menikah sebelum usianya matang.

Di sisi lain, ungkap Nofrijal, anggaran untuk penyediaan alat kontrasepsi saat ini hanya Rp 400 miliar untuk seluruh Indonesia. Menurutnya, anggaran tersebut tidak cukup. 

Sebab, pil dan suntikan yang kualitasnya bagus tidak mempengaruhi menstruasi pada wanita itu lebih mahal. Sehingga, dia ingin, pemerintah menambahkan anggaran serta memperbanyak penyuluhan KB. 

Kalau penyuluhan KB dan penyediaan alat jenis seperti pil KB, suntik, dan kondom tersedia sesuai dengan jumlah masyarakat Indonesia, pastinya bisa menurunkan angka kelahiran dan kematian. Lalu, pemerintah juga harus mengawasi BPJS Kesehatan yang menyediakan alat kontrasepsi agar masyarakat semua mendapatkan alat tersebut. 

Jangan sampai, kata Nofrijal, mereka putus di tengah jalan karena tersendat permasalahan BPJS Kesehatan. “Alat kontrasepsi ini paling mudah drop out atau terputus ditengah jalan. Banyak yang tidak disiplin minum pil atau pakai. Apalagi kalau daerahnya terpencil dan distribusi untuk mengirim aksesnya susah. Ini yang harus diperbaiki kedepannya,” kata dia.

Puslitbang Kependudukan BKKBN Pusat Rina Herarti mengatakan, terdapat kekuatan pengaruh membatasi fertilitas bervariasi menurut provinsi. Seperti pola perkawinan, pola pemakaian dan efektivitas kontrasepsi, serta pola ketidaksuburan pada masa menyusui.

"Pola perkawinan paling kuat di DKI Jakarta, pola pemakaian dan efektivitas kontrasepsi paling kuat di DI Yogyakarta, sedangkan pola ketidaksuburan pada masa menyusui di Nusa Tenggara Timur (NTT)," kata dia.

Dia juga mengungkapkan, terjadi perubahan kekuatan pengaruh membatasi fertilitas berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 dan 2017. Yaitu, kekuatan pengaruh membatasi fertilitas dari pola perkawinan menurun, kekuatan pengaruh membatasi fertilitas dari pola pemakaian dan efektivitas kontrasepsi meningkat dan kekuatan pengaruh membatasi fertilitas dari pola ketidaksuburan pada masa menyusui menurun.

Berdasarkan data pencapaian kinerja BKKBN Tahun 2019 yaitu 1) angka total fertilitas 2,45 dari target 2,28; 2) penggunaan kontrasepsi modern 54,97 persen dari target 61,3 persen; 3) kebutuhan KB yang tidak terpenuhi 12,1 persen dari target 9,9 persen; 4) tingkat putus pakai kontrasepsi 29 persen dari target 24,6 persen; 5) Peningkatan pengguna KB MKJP 24,6 persen dari target 23,5 persen, dan 6) ASFR 33 dari target 38 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement