Selasa 04 Feb 2020 08:50 WIB

Pesan Gus Sholah: Kembalikan Kemandirian NU

NU harus lepaskan diri dari politik praktis, konsisten pada posisinya di masyarakat.

KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah)
Foto: Republika
KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah)

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Muhyiddin

Baca Juga

Pada 15 Januari lalu, kabar itu datang. Pihak keluarga menyampaikan bahwa KH Salahuddin Wahid tengah dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Putranya, Irfan Wahid, menyampaikan bahwa sang ayah harus menjalani operasi ablasi untuk mengatasi gangguan irama jantung.

Mengingat kondisi tersebut, saat Republika menyiapkan suplemen Islam Digest dengan tema peringatan Hari Lahir ke-94 Nahdlatul Ulama (NU), ada keraguan bahwa Gus Sholah, panggilan akrabnya, bersedia menyumbangkan pikiran. Alhamdulillah, menjelang tenggat, Gus Sholah bersedia diwawancarai pada 21 Januari.

Dengan Republika, Gus Sholah memang tergolong akrab. Ia tak jarang mengunjungi kantor Republika di Pejaten, Jakarta Selatan, guna berdiskusi dengan redaksi. Soal apa saja. Politik, pendidikan, sosial, keagamaan, dan lainnya.

Saat dihubungi, suara Gus Sholah di ujung telepon seperti biasanya, lemah-lembut. Tutur katanya terukur penuh pertimbangan, disampaikan perlahan dengan bahasa Indonesia yang rapi. Ada sedikit serak pada suaranya, tapi selain itu sukar untuk menebak bahwa ia tengah sakit cukup parah. Gus Sholah juga tak menyinggung bahwa ia menerima telepon itu di rumah sakit.

Cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari tersebut kemudian menyampaikan pesan-pesan yang dinilainya penting bagi langkah NU menyambut 100 tahun organisasi massa Islam terbesar di Tanah Air itu. Siapa nyana, wawancara itu jugalah yang terakhir dengan Republika. Berikut petikannya.

NU berusia 94 tahun pada tahun ini. Apa harapan Kiai sebagai cucu pendiri untuk jamiyah NU ke depannya?

Jadi, NU itu, menurut saya, mengandung banyak pengertian. Pertama, mengenai ajaran NU. Yang kedua, pengertiannya adalah ulama dan pesantren karena ulama dan pesantrenlah yang mendirikan dan mengembangkan NU. Yang ketiga, NU itu adalah warga; warga yang mengikuti ajaran NU atau yang merupakan keturunan orang NU. Nah, yang keempat, baru organisasi.

Jadi, kalau kita ngomong NU, jangan langsung organisasi. Karena, kalau (organisasi) NU mengeklaim warganya 40 persenan (dari total Muslim Indonesia). Itu, menurut saya, yang aktif di NU ndak sampai situ, jauh di bawah itu. Jadi, itu adalah mereka yang ikut paham yang diikuti NU tapi belum tentu aktif dalam kegiatan NU.

Jadi, untuk keorganisasiannya, apa yang harus dilakukan ke depannya?

Kelemahan NU justru di organisasi. Itu yang harus diperbaiki. Harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis. NU harus konsisten pada posisinya di dalam masyarakat sipil. Hanya dengan cara itulah NU bisa bermartabat. Kalau ikut politik praktis, NU mengecilkan dirinya. Apalagi mengidentikkan NU dengan PKB, warga NU yang memilih PKB itu cuma 15 persen.

Kedua, pemimpinnya, ya, harus orang yang punya integritas, orang yang bukan politisi dan tidak berpikir politis. NU berpolitik dalam politik kebangsaan, kenegaraan, atau keumatan. Tidak politik kekuasaan.

Nah, pemimpin NU harus orang yang punya kemampuan berorganisasi karena organisasi NU kurang baik. Jadi, amal usaha NU adalah fokus yang harus ditangani organisasi NU, bukan urusan politik.

photo
Pemakaman Gus Sholah. Jamaah dan santri mengantarkan jenazah KH Solahuddin Wahid menuju pemakaman di komplek Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Senin (3/2).

 

Patut dicatat bahwa Gus Sholah ikut bersaing dalam pemilihan ketua umum PBNU dalam Muktamar ke-33 PBNU di Jombang, Jawa Timur, pada 2015 lalu. Beliau saat itu kalah suara melawan KH Said Aqil Siroj. Sejak itu, Gus Sholah kerap mengingatkan pengurus NU terkini terkait sepak terjang mereka.

Peringatan Harlah ke-94 Nahdlatul ulama ini, isu kemandirian dijadikan tema utama. Bagaimana NU agar ke depannya bisa lebih mandiri?

Dulu NU itu mandiri. NU itu kalau melaksanakan muktamar pakai ongkos sendiri. Bikin kegiatan, ya, melalui masyarakat yang ada. Tapi, sekarang kan NU tidak mandiri. Nah, kalau amal usaha yang ditingkatkan maka kepedulian warga NU akan muncul. Sekarang mereka enggak peduli karena tidak banyak amal-amal usaha organisasi NU.

Menurut Kiai, amal usaha NU tersebut yang harus ditingkatkan?

Amal usaha ini perlu ditingkatkan. Tinggalkan politik praktis, fokus pada amal usaha. Saya ambil contoh, ada 28 ribu pesantren, sebagian besar itu milik warga NU, bukan organisasi NU. Nah, sekarang NU harus fokus ke situ, membangun sekolah, membangun universitas, kemudian mendorong atau membantu warganya untuk aktif dalam kegiatan ekonomi. Itu yang harus dilakukan NU sekarang.

Mengapa Kiai memandang penting bahwa ekonomi umat, terutama dari kalangan Nahdliyin ini, harus ditingkatkan?

Ekonomi ini ke depannya perlu difokuskan karena selama ini belum tergarap secara maksimal. Itu terutama dalam kegiatan mendorong warga NU untuk mau jadi wirausaha. Ini kekurangan kita. Pegusaha NU tentu banyak, cuma secara relatif itu masih (usaha) kecil.

Kecil dan menengah tidak apa-apa, tapi mereka aktif di dalam wirausaha. Itu yang harus didorong. Usaha itu tidak hanya butuh modal, bukan. Yang paling awal itu justru gagasan. Itu yang paling penting: menumbuhkan minat, punya gagasan, dan berani memulai usaha. Jadi, pelatihan-pelatihan wirausaha itu harus menjadi fokus NU juga.

Kemudian, menurut Kiai, apa tantangan NU ke depan menjelang usianya yang akan genap satu abad?

Itu yang saya bilang tadi, memperbaiki organisasi. Pokoknya tidak boleh pragmatis tidak boleh politis. n ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement