Senin 13 Jan 2020 21:43 WIB

LBH Pers: Tindakan Represif Polisi Meningkat Tajam pada 2019

Represi polisi dinilai meningkat karena banyaknya demo pasca-pemilihan presiden 2019.

Red: Nur Aini
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin (kanan)
Foto: Republika/ Wihdan
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mengungkap data tindakan represif kepolisian yang meningkat tajam pada 2019 dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Penyebabnya, menurut Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, diduga karena demonstrasi meningkat pasca-pemilihan presiden 2019 yang dilakukan secara langsung.

Baca Juga

"Kenapa kemudian terbesar adalah aparat kepolisian, karena ini terkait bagaimana kepolisian mengamankan demonstrasi," kata Ade di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (13/1).

Jika dilihat berdasarkan data latar belakang pelaku, kekerasan masih didominasi aparat penegak hukum, khususnya dari unsur polisi yang berjumlah 33 kasus. Kekerasan yang dilakukan oknum polisi menunjukkan kenaikan tajam pada 2019, meski dua tahun sebelumnya memperlihatkan penurunan, yakni 19 kasus pada 2017 menjadi 18 kasus pada 2018.

Angka itu disusul kelompok warga atau massa yang berjumlah 17 kasus. Unsur pejabat publik juga menyumbang kekerasan terhadap jurnalis selama setahun lalu (7 kasus) dan kalangan pengusaha (6 kasus).

Sebanyak enam kasus belum diketahui pelakunya atau dilakukan orang tidak dikenal. Kasus tersebut banyak terjadi pada bentuk serangan digital. Sebab, pelakunya banyak menggunakan akun anonim atau tanpa identitas.

Hal itu menjadi tantangan berikutnya pada 2020, mengingat Indonesia akan segera menggelar Pemilihan Kepala Daerah secara serentak, dengan rincian 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan wali kota.

Seperti pada 2019 dan 2018, isu politik Pilkada atau Pilpres dinilai akan terus menjadi isu yang rawan kekerasan apabila tidak cermat ditangani dengan kesadaran aparat untuk meredam tindakan represif. Seperti aksi protes hasil Pilpres di gedung Bawaslu Mei 2019 lalu, hingga demonstrasi mahasiswa dan pelajar menolak sejumlah paket rancangan UU di sekitar gedung DPR RI pada September. Aparat cenderung menggunakan upaya represif untuk membubarkan massa pengunjuk rasa. Begitu pula saat menyikapi kehadiran jurnalis yang meliput dan hendak memberitakan pengamanan yang mereka lakukan di lapangan, kerap mendapat intimidasi hingga kekerasan fisik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement