REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis Papua yang menjadi terdakwa atas kasus makar di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019, Dano Tabuni, tetap akan memakai koteka sebagai kostumnya selama menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal, majelis hakim telah memintanya mengenakan celan saat menjalani persidangan.
"Hakimnya minta pakai celana. Badan di atas tetap kosong tapi jangan pakai koteka lagi sidang berikutnya karena aturan pengadilan," kata Dano Anes Tabuni usai persidangan selesai di Ruang Kusumaatmaja 3, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/1).
Tetapi, Dano menegaskan, di sidang berikutnya dia tetap akan memakai koteka. "Karena ini budayaku. Saya harus menunjukkan bahwa 'inilah orang Papua'," katanya.
Pria yang akrab disapa Anes itu juga mengatakan penggunaan koteka selama menjalani persidangan dengan dakwaan makar yang dijalani dirinya berasal dari keinginan pribadi.
(Dari kiri) Tersangka makar Issay Wenda, Charles Kossay, Arina Elopere, Surya Anta, Ambrosius Mulait dan Dano Tabuni saat menunggu dimulainya sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (19/12).
"Keinginan pribadi saya. Jika saya lakukan sesuai dengan kemauan hakim maka justru saya yang dikucilkan oleh orang Papua. Jadi saya daripada saya dikucilkan, lebih baik saya pakai koteka," kata Anes.
Anes tidak sendiri. Terdakwa lainnya, Ambrosius Mulait turut mengenakan koteka. Mereka berdua menegaskan, penggunaan koteka di ruang sidang adalah identitas budaya sebagai orang Papua.
"Kami sengaja pakai koteka dan kami mau menunjukkan bahwa 'inilah identitas dan budaya kami' sehingga kami di sidang berikut pun akan tetap pakai koteka," kata Anes.
Dano Anes Tabuni, Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, Arina Elopere, Charles Kossaydan Isay Wenda, pada Senin, menjalani sidang eksepsi atas kasus makar yang didakwakan oleh JPU Permana. Mereka pada persidangan sebelumnya, dijeratkan dengan dua dakwaan alternatif dengan pasal 106 KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP atau mengenai makar; ataupun pasal 110 ayat (1) KUHP mengenai pemufakatan jahat.
Suryanta dan kelima temannya ditangkap polisi karena mengibarkan bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa di depan Istana Negara Jakarta pada 28 Agustus 2019. Keenamnya ditangkap secara terpisah pada 30 dan 31 Agustus 2019 atas tuduhan makar pada aksi 28 Agustus.