Jumat 03 Jan 2020 09:16 WIB

Pelaku Mutilasi Divonis Mati

Kejaksaan mengeklaim kesulitan eksekusi terpidana mati.

Ilustrasi Hukuman Mati
Foto: MGIT4
Ilustrasi Hukuman Mati

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Majelis hakim Pengadilan Negeri Banyumas menjatuhkan vonis mati terhadap Deni Priyanto alias Goparin (37 tahun), terdakwa kasus pembunuhan berencana dan mutilasi. Sidang yang berlangsung pada Kamis (2/1) itu dipimpin Abdullah Mahrus sebagai hakim ketua serta Tri Wahyudi dan Randi Jastian Afandi sebagai hakim anggota.

''Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana dan menyembunyikan mayat dan pencurian, menjatuhkan pidana dengan pidana mati,'' kata Hakim Abdullah Mahrus saat membacakan putusan.

Terdakwa Deni yang mengenakan pakaian putih lengan panjang dibalut rompi merah, celana hitam, dan kopiah putih hanya tertunduk mendengar putusan majelis hakim. Selepas sidang, Deni juga langsung dibawa petugas ke mobil tahanan kejaksaan yang menunggu di luar gedung pengadilan.

Pada Juli 2019, Deni Priyanto yang merupakan warga Desa Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, ditangkap dalam kasus pembunuhan terhadap Komsatun Wachidah (51), warga Cileu nyi, Kota Bandung. Penyidikan kepolisian menyatakan Deni telah merencanakan pembunuhan dengan cara memukul kepala korban di rumah kos terdakwa di Bandung.

Untuk menghilangkan jejak, Deni memutilasi dan membakar tubuh korban. Sebagian potongan tubuh korban dibakar di Desa Watuagung, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas, sedangkan sebagian lainnya dibakar di wilayah Sempor, Kabupaten Kebumen.

Vonis mati sejalan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Jaksa Antonius Banyas yang menjadi JPU dalam perkara ini menuntut terdakwa dengan hukuman mati sesuai pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana subsider pasal 338 KUHP dan pasal 355 ayat 2 KUHP.

''Terdakwa secara sadis dan berencana telah menghilangkan nyawa orang dengan cara memotong dan membakar tubuh korban, bahkan usai melakukan perbuatan kejinya, merampas dan menjual barang korban berupa perhiasan dan mobil,'' kata Antonius.

Selain itu, terdakwa memiliki rekam jejak sebagai residivis perkara pencurian dengan pemberatan pada 2008 dan kasus penculikan dengan kekerasan pada 2016. Menurut jaksa, hukuman mati pantas diberikan karena Deni telah berulang kali berbuat jahat.

Dalam putusannya, Hakim Abdullah Mahrus sependapat dengan tuntutan yang disampaikan JPU. Hakim ketua menilai, selama persidangan berlangsung, terdakwa tidak menunjukkan adanya penyesalan atau upaya untuk memperbaiki diri. Bahkan, majelis hakim menilai terdakwa seolah tidak seperti telah melakukan perbuatan kejam tanpa memperhatikan keluarga korban yang menanggung perasaan sedih dan kehilangan nyawa korban.

''Ditambah terdakwa juga mempunyai jejak rekam sebagai residivis perkara pencurian dengan pemberatan tahun 2008 dan perkara penculikan dengan kekerasan tahun 2016,'' kata Abdullah.

Hakim memberi waktu selama tiga hari kepada terdakwa untuk mengajukan banding. Bila selama tiga hari itu permohonan banding tidak di ajukan, putusan hukuman mati dianggap sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Penasihat hukum terdakwa, Waslam Makhsid, mengaku tidak bisa memutuskan apakah akan mengajukan banding atau menerima putusan. ''Keputusan apakah akan banding atau menerima putusan sepenuhnya merupakan hak prerogatif Deni sendiri,''kata dia.

photo
Gedung Kejagung.

Nihil eksekusi

Deni merupakan terpidana mati ke-274 yang masih hidup. Dalam penyampaian hasil kinerja tahunan pada Senin (30/12), Kejaksaan Agung mengaku kesulitan melak sa nakan eksekusi hukuman mati terhadap kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Tutup 2019, Jaksa Muda Pidana Umum Ali Mukartono mencatat, ada 274 terpidana mati yang semestinya dapat dieksekusi. Namun, putusan Mahkamah Kons titusi (MK) terkait peninjauan kembali (PK) 2015 membuat eksekusi pidana mati terganjal.

"Terhadap putusan jenis pidana mati yang sudah inkrah, tidak dapat langsung dieksekusi," kata Ali.

Menurut dia, PK sebagai upaya hukum luar biasa hanya dapat diajukan ke MA satu kali dengan memberikan bukti baru yang dibebankan kepada terpidana. Selain itu, pengajuan PK tersebut sebetulnya tak menunda atau menangguhkan pelaksanaan pidana terhadap pengaju PK. Namun, MK mencabut keberlakuan pasal yang mengatur itu, yang berdampak PK dapat diajukan lebih dari satu kali.

Selain itu, menurut Ali, MK juga memutuskan tentang grasi atau pengampunan terhadap terpidana. Pengampunan oleh presiden tersebut diajukan oleh terpidana berdasarkan hak narapidana yang diatur dalam UU 22/2002.

Dalam beleid tentang grasi, permohonan pengampunan diajukan paling lama setelah setahun putusan inkrah. Pengajuan atau permohonan pengampunan kepada presiden dapat menunda pelaksaan pidana terhadap terpidana.

"Jadi, ini (pelaksanaan eksekusi pidana mati) seperti tidak ada habisnya. Inilah yang membuat sebagian besar eksekusinya tidak dapat dilakukan," kata Ali. (eko widiyatno/bambang noroyono, ed:ilham tirta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement