Rabu 18 Dec 2019 16:18 WIB

Mantan Bupati Eks Pengguna Narkotika Mau Maju Pilkada 2020

Pengacar sebut kliennya akan tetap maju pilkada meski gugatan ditolak MK.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Teguh Firmansyah
  Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi dikawal petugas BNN untuk dibawa ke Pusat Rehabilitasi BNN Lido, Jakarta pada Maret 2016 silam.
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi dikawal petugas BNN untuk dibawa ke Pusat Rehabilitasi BNN Lido, Jakarta pada Maret 2016 silam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahmad Wazir Nofiadi diberhentikan sebagai Bupati Ogan Ilir setelah genap satu bulan dilantik karena ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan narkotika pada Maret 2016 lalu. Namun hal itu tak membuat hasratnya di dunia politik terhenti.

Nofiadi berencana akan maju dalam Pemilihan Bupati Ogan Ilir pada Pilkada 2020 mendatang. "Klien kami akan tetap maju dalam kontestasi Pilkada 2020," ujar kuasa hukum Nofiadi, Salman Darwis usai sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (18/12).

Baca Juga

Nofiadi berupaya menggugat aturan yang mensyaratkan pemakai narkotika tak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah ke MK. Ia mengajukan permohonan pengujian penjelasan Pasal 7 ayat 2 huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) terkait frasa 'pemakai narkotika'.

Namun, MK menolak gugatan Nofiadi karena permohonan tidak beralasan hukum. Sementara itu, kuasa hukum menilai, Nofiadi tetap bisa maju dalam Pilkada 2020 nanti.

Kuasa hukum tetap berpegang pada Pasal 7 ayat (2) huruf f UU Pilkada. Pasal itu menyebut, salah satu syarat calon kepala daerah yakni mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim.

"Selama klien kami atau siapa pun bisa menghadirkan surat bebas narkoba, dia bisa mencalonkan diri," kata Salman Darwis.

Salman menuturkan klasifikasi dan frasa penyalahgunaan narkotika juga perlu diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Sebab, berdasarkan pertimbangan hakim, ada tiga klasifikasi pengguna narkotika.

D iantaranya pemakai narkoba untuk alasan kesehatan, pemakai atas inisiatif atau kesadarannya sendiri dan melaporkan untuk meminta proses rehabilitasi medis, dan berdasarkan putusan pengadilan ia ditetapkan sebagai korban tapi diminta untuk proses rehabilitasi.

"Kalau dia masuk dalam perbuatan tercela, pengguna narkoba yang dalam kualifikasi korban, dia kasihan. Dia dicabut hak politiknya seumur hidup. Padahal kalau kita mau runut, tujuan pemidanaan kan pembinaan. Jadi, pascaorang dibina, hak politiknya dikembalikan," jelas Salman Darwis.

Diketahui Noviadi merupakan Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan periode 2016-2021 yang dilantik dan diambil sumpah jabatan pada 17 Februari 2016. Akan tetapi, baru genap satu bulan menjadi bupati, Noviadi ditangkap petugas Badan Narkotika Nasuonal (BNN) saat mengadakan pesta narkoba di rumahnya pada 13 Maret 2016.

Kemudian pada 21 Maret 2016, Noviadi diberhentikan secara tetap berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.16-3030 tentang Pemberhentian Bupati Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan karena berstatus sebagai tersangka penyalahgunaan narkotika.

Selama enam bulan, Noviadi selesai menjalani proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang dimulai dari 18 Maret 2016 sampai dengan 13 September 2016. Ia menjalani rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Narkoba Badan Narkotika Nasional Lido, Bogor, Jawa Barat dan Rumah Sakit Ernaldi Bahar, Palembang, Sumatera Selatan.

Dalam berkas permohonannya, Noviadi mengatakan, dengan selesainya menjalani proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tersebut, maka dia telah terbebas dari ketergantungan narkotika, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Sehingga dapat kembali melakukan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Menurut dia, hal ini sejalan dengan tujuan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial berdasarkan Pasal 1 angka 16 dan angka 17 UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Narkotika. Dengan demikian, ia pun mengajukan gugatan karena menilai frasa 'pemakai narkotika' dalam penjelasan di UU Pilkada menghalangi haknya maju dalam Pilkada 2020.

Anggota Majelis Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menuturkan dalam pertimbangannya, penjelasan Pasal 7 ayat 2 huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016, telah tepat memasukkan pemakai narkotika terhadap perbuatan tercela. Sehingga frasa pemakai narkotika dalam penjelasan Pasal 7 ayat 2 huruf i UU tersebut adalah konstitusional.

Akan tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya multitafsir dan penyalahgunaan wewenang abuse of power dalam penerapannya, maka frasa 'pemakai narkotika' dikecualikan untuk tiga hal. Satu, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat yang bersangkutan.

"Atau dua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani masa rehabilitasi," kata Palguna.

Tiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

Untuk diketahui Pasal 7 ayat 2 huruf i dalam UU Pilkada berbunyi, "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wakil Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian."

Kemudian dalam lembaran penjelasan untuk pasal tersebut, bahwa yang dimaksud dengan "perbuatan tercela" antara lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement