Rabu 11 Dec 2019 23:09 WIB

Komisi IX DPR Minta Kenaikan Iuran JKN Ditunda

Komisi IX meminta penundaan kenaikan Iuran JKN karena data cleansing belum jelas

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kiri) dan Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kiri) dan Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta penundaan kenaikan iuran program Jaminan Kesshatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang rencananya diterapkan per 1 Januari 2020. Sebab, cleansing data penerima bantuan iuran (PBI) yang menjadi prasyarat kenaikan iuran JKN-KIS belum selesai hingga kini.

"Komisi IX DPR meminta kenaikan iuran JKN-KIS ditunda karena belum selesainya cleansing data PBI JKN-KIS. Kementerian Sosial (Kemensos) mencatat jumlah orang miskin per Maret 2019 sekitar 25,14 juta orang, tetapi PBI yang dibayar pemerintah saat ini sekitar 96 juta jiwa," ujar Anggota komisi IX DPR dari fraksi Golkar Darul Siska saat hadir di diskusi Universitas Indonesia, di Jakarta, Rabu (11/12).

Apalagi, dia melanjutkan, catatan kesimpulan rapat DPR di periode 2014-2019 lalu menyatakan setuju iuran JKN-KIS naik pada 2020 mendatang asalkan terlebih dahulu melakukan cleansing data. Hingga kini, ia mengaku pihaknya belum mendapat laporan kemajuan cleansing data.

"Oleh karena itu DPR saat rapat kerja dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto Ssnin (9/12) kemarin masih bertahan supaya iuran JKN-KIS jangan dinaikkan dulu," katanya.

Ia menambahkan, desakan dari komisi IX telah disampaikan ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan diteruskan ke Kementerian Keuangan. Kendati demikian hingga saat ini, ia menyebutkan Kementerian Keuangan belum memberikan jawaban. Meski meminta penyesuaian premi asuransi sosial itu jangan dulu dilakukan, pihaknya mengaku tidak melarang premi naik.

"Kalau kenaikan iuran JKN-KIS dibatalkan juga tidak rasional karena memang biaya berobat per orang belum tercover dengan iuran (JKN-KIS yang dibayar)," katanya.

Ia menegaskan, Komisi IX DPR meminta kenaikan iuran JKN-KIS ditunda sampai persoalan cleansing data dan sistem seperti pelayanan kesehatan, ketaatan membayar premi benar-benar selesai. Ia menyebut pihak Kemensos seharusnya memiliki data-data lengkap dan detil mengenai masalah ini.

Akan tetapi sayangnya pihaknya bukan mitra dari Kemensos sehingga tak bisa mendapatkan data. Karena itu, Komisi IX DPR minta BPJS Kesehatan dan Kemenkes supaya intens berkomunikasi intensif dengan Kemensos untuk membuat parameter data orang yang laik menjadi PBI.

Sebab, dia menyebutkan saat ini ada perbedaan data mengenai jumlah orang miskin sekitar 25,14 juta jiwa per Maret 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum hingga Kemenkes mencatat jumlah orang yang mendapat PBI sekitar 96 juta jiwa. Padahal, ia menyebutkan bangsa Indonesia belum punya data yang akurat tentang masyarakat Tanah Air.

Perbedaan data inilah, dia melanjutkan, yang membuat orang bingung menggunakan parameter data yang benar. Karena itu, Darul meminta kejelasan dan pembenahan data untuk menetapkan PBI. Sehingga ada pemahaman bersama dan data orang yang menjadi PBI yang betul-betul perlu mendapatkannya.

"Saya merasa ini tanggung jawab bersama sebagai anak bangsa untuk memperbaiki sistem Selama cleansing data belum selesai ya jangan naik dulu. Iuran JKN-KIS bisa dinaikkan kalau cleansing data sudah beres," ujarnya. Pihaknya tidak menetapkan tenggat waktu kapan batas akhir pemerintah menyelesaikan cleansing data.

"Itu terserah BPJS Kesehatan, mau naik iurannya atau tidak. Kalau mau naik ya selesaikan pekerjaannya," ujarnya.

Untuk tindak lanjut masalah ini, Darul mengaku pihaknya akan menggeĺar rapat dengan BPJS Kesehatan, Kemenkes besok Kamis (12/12). Pihaknya mengaku akan melakukan evaluasi mengenai masalah ini termasuk pembenahan Undang-Undang (UU) jika diperlukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement