REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Aung San Suu Kyi pemimpin politik tertinggi di Myanmar, mengejutkan pengritik dan menghimpun pendukung di dalam negeri dengan pergi ke Den Haag, Belanda, untuk memimpin delegasi negerinya. Suu Kyi membela negaranya atas dugaan pemusnahan etnis atau genosida terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya.
Suu Kyi mendengarkan dengan tenang pada Selasa (10/12), saat pengacara pihak Gambia merinci kesaksian grafis mengenai penderitaan orang Rohingya di tangan militer Myanmar di hari pertama siang Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Dalam tiga hari proses dengar pendapat pekan ini, para hakim mendengarkan tahap pertama kasus tersebut.
Suu Kyi hadir dengan mengenakan pakaian tradisional Myanmar. Dia sama sekali tak berbicara kepada awak media saat memasuki pengadilan. Seorang hakim Afrika Selatan berpengalaman, Navanethem Pillay, dan mantan komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia Claus Kress, telah ditunjuk sebagai hakim ad hoc dalam kasus tersebut.
Komisioner di International Commission of Jurists Reed Brody mengungkapkan belum pernah terjadi sebelumnya pemimpin politik tertinggi seperti Suu Kyi mengambil peran utama dalam sebuah kasus hukum di ICJ. "Secara hukum itu bisa menjadi kontraproduktif bagi Suu Kyi untuk mengambil peran seperti itu karena sepertinya dia mempolitisasi kasus ini," ujarnya, dikutip laman Aljazirah.
"ICJ mengikuti tradisi dan protokol diplomatik dan saya ragu para hakim akan terkesan dengan kelompok tur yang tiba dari Myanmar untuk mendukung pemerintah," ujar Brody.
Pengadilan hari ini akan berlangsung tiga jam lamanya. Saat tulisan ini diunggah, Suu Kyi baru saja tiba di pengadilan. Pengadilan akan mendengarkan pembelaan Suu Kyi terhadap militernya, militer yang sama yang telah menahan Suu Kyi selama 15 tahun di rumahnya sendiri. Di tahun 1991, Suu Kyi meraih medali Nobel perdamaian secara in absentia karena dinilai telah memperjuangkan demokrasi dan hak rakyat Myanmar di bawah kekuasaan junta militer. Pengadilan akan berakhir pada besok, Kamis (12/12).
Pada Rabu (11/12), dikutip dari NY Times, juru bicara untuk partai politik Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi, U Myo Nyunt, mendeskripsikan pengakuan yang diungkap di persidangan pada hari Selasa sebagai 'he said, she said' atau apa kata dia.
"Kami sudah mempersiapkan diri untuk membantah tuduhan tersebut," kata Myo Nyunt. "Laporan dari misi pencarian fakta datang dari sosok terhormat di komunitas internasional, tapi tidak lengkap karena kekurangan bukti."
Suu Kyi bukanlah terdakwa di Mahkamah Internasional atau ICJ. Pengadilan ini tidak mendakwa individu, melainkan bertugas menyelesaikan konflik antara negara-negara yang berangkat dari kasus hukum internasional. Kehadirannya di Den Haag untuk membela Myanmar namun meletakkannya di bawah sorotan.
Gambia, negara kecil di Afrika Barat, telah melancarkan kasus terhadap Myanmar di Mahkamah Pidana Internasional (ICC), pengadilan tertinggi PBB. Gambia menuduh Myanmar telah melanggar Konvensi Jenewa 1948.
Gambia berargumentasi bahwa berdasarkan Konvensi 1948 setiap negara wajib mencegah terjadinya pemusnahan etnis. Gambia mendapat dukungan politik dari Organisasi Kerja Sama Islam serta beberapa negara Barat termasuk Kanada dan Belanda.
Lebih dari 730 ribu orang Rohingya menyelamatkan diri dari Myanmar setelah militer melancarkan penindasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar Barat, pada Agustus 2017. Kebanyakan dari mereka sekarang tinggal di kamp pengungsi padat penghuni di Bangladesh.
Myanmar berargumentasi operasi pembersihan militer di Rakhine adalah reaksi sah untuk menindas terorisme dan tentaranya telah bertindak secara layak. Walaupun misi pencari fakta PBB mendapati bahwa kejahatan besar berdasarkan hukum internasional telah dilakukan di Myanmar dan menyerukan pengadilan pemusnahan suku, tak ada pengadilan yang memiliki bukti yang memberatkan dan menetapkan pemusnahan suku di Myanmar.
Pegiat Hak Asasi Manusia yang tergabung dalam komunitas Free Rohingya Coalition (FRC) mengajak masyarakat global memboikot Myanmar. Dilansir di Aljazirah, ajakan tersebut dilakukan beberapa hari sebelum sidang genosida dimulai di Mahkamah Internasional, Den Haag, Belanda.
Kampanye Boikot Myanmar dengan 30 organisasi di 10 negara ini menyerukan perusahaan, investor asing, organisasi profesional, dan budaya untuk memutuskan hubungan kelembagaan mereka dengan Myanmar. Lebih dari 730 ribu orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh setelah tindakan keras brutal oleh militer pada Agustus 2017. PBB menyatakan tindakan itu merupakan kejahatan genosida.
FRC menjelaskan kampanye itu bertujuan menekan secara ekonomi, budaya, diplomatik dan politik pada pemerintah koalisi Myanmar Aung San Suu Kyi dan militer. "Kami melakukan ini untuk memperbaiki kesalahan pemerintah dan militer Myanmar ... bukan karena kami membenci sesama warga Burma. Kami ingin melihat negara kami sebagai negara maju tetapi karena investasi yang diterima ternyata untuk membiayai genosida, kami terpaksa melakukan ini," ujar Ro Nay San Lwin, seorang Muslim Rohingya dan salah seorang pendiri FRC.
Pada 30 September 2019 ada sebanyak 915 ribu pengungsi Rohingya di kamp-kamp Bangladesh. Sebanyak 80 persen di antaranya tiba di sana antara Agustus dan Desember 2017 dan di bulan Maret tahun ini. Bangladesh sudah mengatakan tidak bisa menerima lebih banyak pengungsi Rohingya, seperti dikutip BBC.
Agustus tahun ini Bangladesh membuat skema kembali ke negara asal secara sukarela. Tidak ada satu pun pengungsi asal Rohingya yang bersedia.
Bangladesh berencana merelokasikan 100 ribu pengungsi ke Bhasan Char, sebuah pulau kecil di area Teluk Bengal. Namun ide itu ditolak 39 lembaga bantuan dan kelompokan HAM.
Infografis Rohingya.