Jumat 29 Nov 2019 16:46 WIB

Bidan Praktik Banyak Kehilangan Pasien di Era JKN

Bidan yang melakukan praktik mandiri banyak kehilangan pasien di era JKN

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Christiyaningsih
Ilustrasi Bidan
Foto: IST
Ilustrasi Bidan

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti dari Universitas Nara Woman, Etsuko Matsuoka, mengungkapkan bidan yang melakukan praktik mandiri banyak kehilangan pasien. Utamanya, usai pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Lebih banyak pasien memilih untuk melahirkan lewat rumah sakit atau dokter kandungan," kata Matsuoka ketika menjadi pembicara di PSKK Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (28/11).

Baca Juga

Pernyataan itu merupakan penelitian peran bidan bidang kesehatan reproduksi dari zaman 90-an hingga setelah JKN. Penelitian diungkapkan dalam seminar bertajuk Impact of Reproductive Health Policies on Women's Health.

Padahal, pada era 1990-an masyarakat perdesaan melahirkan lewat dukun bayi. Kemudian, terjadi pergeseran melalui penguatan peran bidan untuk meningkatkan kesehatan reproduksi perempuan.

"Di pedesaan, dulu peran dukun bayi sangat menentukan. Lalu terdapat semacam pergeseran peran dari dukun bayi lambat laun ditangani bidan karena ada kebijakan pada waktu itu," ujar Matsuoka.

Seiring berjalannya waktu, banyak ibu hamil memilih melahirkan di tangan bidan sehingga banyak bidan membuka praktik sendiri. Lalu, pemerintah menarget capai program pembangunan melalui MDGs ke SDGs.

Pada akhirnya proses persalinan lebih banyak dilakukan di rumah sakit sebagai rujukan dari dokter keluarga, klinik pratama, atau puskesmas. Semakin lama pasien banyak dirujuk ke RS daripada bidan atas alasan risiko.

Matsuoka menuturkan salah satu rumah sakit bersalin di Yogyakarta menunjukkan sekitar 54 persen pasiennya lebih memilih lakukan operasi caesar. Artinya, satu dari dua persalinan diarahkan kepada caesar. "Sehingga, peran bidan semakin mengecil dialihkan ke dokter obgyn," kata Matsuoka.

Selain faktor risiko, bidan menghadapi kendala tidak bisa menangani langsung pasien yang memegang kartu BPJS. Ini karena aturan-aturan yang berlaku harus melalui rujukan dari dokter keluarga.

Kalaupun menerima pasien peserta BPJS, pergantian klaim biaya dari BPJS kepada bidan dengan persalinan normal hanya diberikan sebesar Rp 750 ribu. Jumlah itu dirasa belum cukup menutupi biaya persalinan.

Penelitian soal kesehatan reproduksi perempuan Indonesia ini masih terus berlangsung. Walau belum mau berkesimpulan lebih jauh, ia berpendapat pemberlakuan BPJS ini berdampak pada berkurangnya peran bidan.

"Apakah strategi ini mampu memperbaiki kesehatan reproduksi perempuan? Saya tidak tahu, perlu ada penelitian selanjutnya," kata Matsuoka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement